Monday, April 30, 2018

Selingkuh Dengan Si Cantik Nia

Yuk SeksSejak peristiwa sexku dengan Winda aku semakin aktif untuk mengikuti senam, yach biasa untuk menyalurkan hasratku yang menggebu ini.


Kegiatan ini semua tentunya juga rapi karena ku nggak kepingin istriku tahu hal ini. Suatu ketika aku diperkenalkan pada teman-teman Winda satu kelompok, dan pinter sekali Winda bersandiwara dengan berpura-pura telah bertemu denganku pada suatu pesta pernikahan seseorang sehingga temannya tidak ada yang curiga bahwa aku telah berhubungan dengan Winda.

Hari ini, seusai senam jam 08.30 aku harus langsung kekantor untuk mempersiapkan pertemuan penting nanti siang jam 14.00. Kubelokkan kendaraanku pada toko buku untuk membeli perlengkapan kantor yang kurang, saat aku asyik memilih tiba-tiba pinggangku ada yang mencolek, saat kutoleh dia adalah Nia teman Winda yang tadi dikenalkan.
“Belanja Apa Winda…, kok serius banget…”, Tanyanya dengan senyum manis.
“Ah enggak cuman sedikit untuk kebutuhan kantor aja kok…”
Akhirnya aku terlibat percakapan ringan dengan Nia. Dari pembicaraan itu kuperoleh bahwa Nia adalah keturunan cina dengan jawa sehingga perpaduan wajah itu manis sekali kelihatannya. Matanya sipit tetapi alisnya tebal dan…, Aku kembali melirik kearah dadanya.., alamak besar sekali, kira-kira 36C berbeda jauh dengan Winda sahabatnya.
“Eh.., Ni aku ada yang pengin kubicarakan sama kamu tapi jangan sampai tahu Winda ya”, pintanya sambil melirikku penuh arti.
“Ngomong apaan sih.., serius banget Na... apa perlu?”, tanyaku penuh selidik.
“Iya perlu sekali…, Tunggu aku sebentar ya…, kamu naik apa..”, tanyanya lagi.
“Ada kendaraan kok aku…” timpalku penasaran. Akhirnya kuputuskan Nia ikut aku walaupun mobilnya ada, nanti kalau omong-omgngnya sudah selesai Nia tak antar lagi ketempat ini.

“Masalah apa Na kamu kok serius banget sih…”, tanyaku lagi.
“Tenang Ni..., ikuti arahku ya…, santai saja lah…”, pintanya.
Sesekali kulirik paha Nia yang putih itu tersingkap karena roknya pendek, dan Nia tetap tidak berusaha menutupi. Sesuai petunjuk arah dari Nia akhirnya aku memasuki rumah besar mirip villa dan diceritakan oleh Nia bahwa tempat itu biasa dipakai untuk persewaan.

“Ok Ni sekarang kita kemana ini dan kamu mau ngomong apaan sih”, tanyaku tak sabar, setelah aku masuk ruangan dan Nia mempersilahkan duduk.
“Gini Ni langsung aja ya…, Kamu pernah merasakan Winda ya..?”, tanyanya.
Deg…, dadaku berguncang mendengar perkataan Nia yang ceplas ceplos itu.
“Merasakan apaan sih Ni?”, tanyaku pura-pura bodoh.
“Alaa Ni jangan mungkir aku dikasih tahu lho sama Winda, dia menceritakan bagaimana sukanya dia menikmatimu…, Hayooooo masih mungkir ya…”.
Aku hanya diam namun sedikit grogi juga, nampak wajahku panas mendengar penuturan Nia yang langsung dan tanpa sungkan tersebut. Aku terdiam sementara Nia merasa diatas angin dengan berceloteh panjang lebar sambil sesekali dia senyum dan menyilangkan kakinya sehingga nampak pahanya yang mulus tanpa cacat. Aku hanya cengar cengir saja mendengar semua omomgannya.
“Gimana Ni masih mau mungkir nih…, Bener semua kan ceritaku tadi…?”, Tanyanya antusias.
Aku hanya tersenyum kecut. Kuperhatikan Nia meninggalkan tempat duduknya dan tak lama kemuadian dia keluar sambil membawa dua gelas air minum. Nia kembali menatapku tajam aku seperti tertuduh yang menunggu hukuman. Tak lama berselang kembali Nia berdiri dan duduk disampingku.

“Ni…”, sapanya manja.
Aku melirik dan, “Apa?”, jawabku kalem.
“Aku mau seperti yang kau lakukan pada Winda Ni…”, aku sedikit terkejut mendengar pengakuannya dan tanpa membuang waktu lagi kudekatkan bibirku pada bibirnya.
Pelan dan kurasakan bibir Nia hangat membara. Kami berpagut bibir, kumasukkan lidahku saat bibir Nia terbuka, sementara tanganku tidak tinggal diam. Kusentuh lembut payudaranya yang kenyal dia tersentak kaget. Bibirku masih bermain semakin larut dalam bibirnya. Nia kelihatan menikmati sekali sentuhan tanganku pada payudaranya. Sementara tangan kananku mengusap lembut punggungnya. Nia semakin menjadi leherku diciumi dan tangan Nia berada dipunggungku. Tanganku beroperasi semakin jauh dengan meraba paha Nia yang mulus dia semakin menggelinjang saat tangan kananku mulai masuk dalam payudaranya. Tanpa menunggu reaksi lanjutan aku menaikkan BH sehingga tanganku dengan mudah menyentuh putting yang mulai mengeras.

Kudengar nafas Nia memburu dengan diselingi perkataan yang aku tak mengerti. Nia mulai pasrah dan kedua tangaku menaikkan kaos sehingga kini Nia hanya memakai rok mini yang sudah tidak lagi berbentuk sedangkan BH hitam sudah tidak lagi menutup payudaranya. Kudorong perlahan Nia untuk berbaring di Sofa, Aku terkagum melihat putihnya tubuh yang nyaris tanpa cacat. Kuperhatikan putting susunya memerah dan kaku, bulu-bulu halus berada disekitar pusar menambah gairahku. Nia hanya terpejam dan aku mulai menurunkan rok mini setelah jariku berhasil menyentil pengait dibawah pusar. Kini Nia hanya tinggal memakai CD dan BH hitam kontras dengan warna kulitnya. Aku bergegas mempreteli pakaianku dan hanya tinggal CD. Cepat-cepat kutindih tubuh mulus itu dan Nia mulai menggelinjang merasakan sesuatu mengganjal dibawah pusarnya. Aku turun menciumi kakinya sesenti demi sesenti.
“Enggghh hhss”, hanya suara itu yang kudengar saaat mulutku beraksi di lutut dan pahanya.

Penisku terasa sakit karena kejang. Mulutku mulai menjalar di paha.., benar-benar kunikmati sejengkal demi sejengkal. Tanganku mencoba menelusuri daerah disela pahany, Dan kudengar suara itu semakin menjadi saat tanganku berhasil menyusup dari pinggir CD hitam dan berhasil menemukan tempat berbulu dengan sedikit becek didalamnya. Tanganku terus membelai bulu-bulu kaku dan tangan satunya berusaha mempermudah dengan menurunkan CD didaerah pada berpapasan dengan mulutku. Kusibak semua penghalang yang merintangi tanganku untuk menjamah kemaluan, dan kini semakin nampak wajah asli kemaluan Nia indah montok putih kemerahan dengan bulu jarang tapi teratur letaknya. Mataku terus mengawasi kemaluan Nia yang menarik, kulihat klitorisnya membengkak keluar merah muda warnamya…, aku semakin terangsang hebat.

Mulutku masih disela pahanya sementara tanganku terus menembus liang semakin dalam dan Nia semakin menggelinjang terkadang mengejang saat kupermainkan daging kecil disela gua itu. Kusibakkan dua paha dengan merentangkan kaki kanan pada sandaran sofa sedangkan kaki kiri kubiarkan menyentuh lantai. Kini kemaluan Nia semakin terbuka lebar. Mulutku sudah tak sabar ingin merasakan lidahku sudah berdecak kagum dan berharap cepat menerobos liangnya beradu dengan daging kecil yang manja itu dengan bulu yang tidak banyak. Kumisku bergeser perlahan beradu dengan bulu halus milik Nia dan dia hanya bisa terpejam dengan lenguhan panjang setengah menjerit. Kubirakan dia mengguman tak karuan. Lidahku mulai menjilat dan bibirku menciba menghisap daging kecil milik Nia yang menjorok keluar. Kuadu lidahku dengan daging kecil dan bibirku tak henti mengecup, kurasakan kemaluan semakin basah.

Nia berteriak semakin keras saat tangaku juga mengambil inisiatif untuk meremas payudaranya yang bergerak kiri kanan saat Nia bergoyang kenikmatan. Aku juga tidak tahan melihat semua ini. Kutarik bibirku menjauh dari kemaluanya dan kulepas Cdku sehingga nampaklah batang penisku yang sudah tegak berdiri dengan ujung merah dengan sedikit lendir. Kusaksikan Nia masih terpejam kudekatkan ujung penisku sampai akhirnya menyentuh kecil kemaluan Nia. Jeritan Nia semakin menjadi dengan mengangkat pantatnya supaya penisku menjenguk lubangnya. Kujauhkan penisku sebentar dan kulihat pantat Nia semakin tinggi mencari. Kugesek gesekkan lagi penisku dengan keras, aku terkejut tiba-tiba tanfan Nia menagkap batang penisku dan dituntun menuju lubang yang telah disiapkan. Denga lembut dan sopan penisku masuk perlahan. Saat kepala penis masuk Nia menjerit keras dan menjepitkan kedua kainya dipinggangku. Kupaksakan perlahan batang penisku akhirnya berhasil menjenguk lubang terdalam milik Nia. Kaki Nia kaku menahanku dia membuka mata dan tersenyum.

“Jangan digoyang dulu ya Ni…”, pintanya dan dia terpejam kembali.
Aku menurut saja. Kurasakan kemaluan Nia berdenyut keras memijit penisku yang tenggelam dalam tanpa gerak. Akhirnya Nia mulai menggoyangkan pantatnya perlahan. Aku merasakan geli yang luar biasa. Kuputar juga pantatku sambil bergerak maju mundur dan saat penisku tenggelam kurasakan bibir kemaluan Nia ikut tenggelam dengan kulit penisku. Tak seberapa lama aku merasakan penisku mulai panas dan geli yang berada diujung aku semakin menekan dan manarik cepat-cepat. Nia merasakan juga rupanya, dia mengimbangi dengan menjepitkan kedua kakinya dipinggangku sehingga gerak penisku terhambat. Saat penis masuk karena bantuan kaki Nia semakin dalam kurasakan tempat yang dituju.
Aku tidak kuat dan, “Ni aku mau keluar”, lenguhku.
Nia hanya tersenyum dan semakin mempererat jepitan kakinya. Akhirnya, Kutekan semua penisku dalam-dalam dan kusaksikan Nia terpejam dan berteriak keras. Kurasakan semprotan luar biasa didalam kemaluan Nia. Dan aku terus menggoyangnya, tiba-tiba Nia berteriak dan tangannya memelukku kuat-kuat. Bibirnya menggigit dadaku sementara pantatnya terus mengejang kaku, aku hanya terdiam merasakan nikmatnya semua ini.
Aku menindih Nia dan penisku masih kerasan didalam liang sanggamanya. Nia mengelus punggungku perlahan seolah merasa takut kehilangan kenikmatan yang sudah direguknya. Perlahan kujauhkan pantatku dari tubuh Nia dan kurasakan dingin penisku saat keluar dari liang kenikmatan. Aku terlentang merasakan sisa-sisa kenikmatan. Nia kembali bergerak dan berdiri. Dia tersenyum melangkah menuju kamar mandi. Kudengar suara gemericik air mengguyur…,
Nia kembali mendekatiku, aku duduk diatas karpet untuk berdiri hendak membersihkan penisku yang masih belepotan, aku terkejut saat Nia kembali mendorongku untuk tidur.
“Eh Ni aku mau ke kamar mandi dulu.., bersih- bersih nih…”
Tapi tak kudengar jawaban karena Nia menunduk di sela pahaku dan kurasakan mulut Nia kembali beraksi memanjakan penisku dengan lidahnya. Aku geli menggelinjang merasakan nikmatnya kuluman mulut Nia ke penisku. Telur penisku dijilat dan dihisap perlahan. Serasa ujung syarafku menegang.

Kujepit kepalanya dengan dua pahaku, Aku mulia menggumam tak karuan tapi Nia semakin ganas melumat penisku. Ujung penisku dihisap kuat-kuat kemudian dilepas lagi dan tangnnya mengocok tiada henti. Akhirnya aku menyerah untuk merasakan kenikmatan mulut Nia yang semakin menggila. Kulihat kepala Nia naik turun mengelomoh penisku yang menegang. Saat mulutnya menghisap kusaksikan pipi Nia kempot seperti orang tua. Penisku dikeluarkan dari mulutnya dan kusaksikan kepala penisku sudah memerah siap untuk menyemprotkan air kehidupan. Nia kembali menggoyang mulutnya untuk penisku tiada henti. Kepala penisku mendapat perlakukan istimewa. Dihisap dan dikulum. Lidahnya menjilat dan mengecap seluruh bagian penisku. Tangan Nia membantu mulutnya yang mungil memegangi penisku yang mulai tak tentu arah. Aku kegerahan, kupegang kepalanya dan kuataur ritme agar aku tidak cepat keluar.

Hanya suara aneh itu yang sanggup keluar dari mulutku. Aku mencoba duduk untuk melihat seluruh gerakan Nia yang semakin liar pada penisku. Kepala Nia tetap dalam dekapan tangaku, kuciumi rambutnya yang halus dan kobelai punggungnya yang putih licin, dia mulai berkeringat mengagumu penisku. Mulut Nia berguman menikmati ujung penisku yang semakin membonggol. Tanganku kuarahkan untuk meremas payudaranya. Saat kegelianku datang, payudaranya jadi sasaran amuk tanganku. Kuremas kuat Nia hanya mengguman dan melenguh. Gila, Sayang aku tidak berhasil mengatur waktu yang lebih lama lagi untuk tidak mengeluarkan cairanku. Mulut Nia sekain ganas melihat tingkahku yang mulai tak karuan. Lenguhku semakin keras. diluar dugaan Nia semakin kuat melakukan kuluman dan hisapan peda penisku. Akhirnya aku tidak tahan merasakan kenikmatan yang tiada tara ini. Kuangkat pantatku tinggi – tinggi, rupanya Nia mengerti maksudku, dimasukkannya dalam-dalam penisku dan kurasakan Nia tambah kuat menghisap cairanku aku jadi merasa tersedot masuk dalam mulutnya.

Tak seberapa lama setelah cairanku habis, Nia masih mengulum dan membersihkan sisa-sisa dengan mulutnya. Aku hanya bisa tengadah merasakan semuanya. Setelah itu Nia mulai melepas mulutnya dari penisku. Kulihat semuanya sudah bersih dan licin. Nia tersenyum dan dia mengelus dadaku yang masih telanjang. Aku baru bisa berdiri dan menuju ke kamar mandi saat Nia beranjak dari duduknya untuk membuatkan aku minuman. Kubersihkan diriku. Aku minum sejenak, dan Nia hanya diam saja memandangiku.
“Kenapa Ni…?”, tanyaku.
Dia memandangku dan berkata, “Maaf ya Ni sebenarnya aku tadi hanya memancingmu saja kok, aku nggak tahu kamu udah pernah main ama Winda atau belum, abisan aku lihat tatapan mata Winda sama kamu kadang mesra sekali sih aku jadi curiga”
“Gila, kupikir”, tapi aku hanya senyum saja mendengarnya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 12.45 aku harus bergegas untuk menyiapkan rapat. Kami berdua menuju ke toko tempat Nia memarkir mobilnya. Selama diperjalanan kami semakin mesra dan berkali-kali kudengar lenguh manja Nia seakan masih menikmati sisa-sisa orgasmenya. Tangankupun sekali-kali tidak lagi takut menelungkup disela pahanya atu penggelayut dipayudaranya yang besar. Bahkan Nia semakin membiarkan pahanya terbuka lebar dengan rok terangkat untuk mempermudah tanganku mengembara dikemaluannya. Nia pun tak mau kalah penisku jadi sasaran tangannya saat tangaku tidak menempati kemaluannya. Kurasakan penisku tegang kembali. Nia hanya tersenyum dan meraba terus penisku dari luar celana. Akhirnya sampai juga ditempat Nia memarkir mobil dan kami berpisah, Nia memberikan kecup manja dan ucapan terima kasih.
Aku hanya tersenyum dan bergumam, “Besok aku mau lagi..”
Nia mengangguk dan berkata “Kapanpun Adi mau, Nia akan layani”
Hati setanku bersoak mendengar jawaban yang mengandung arti kemanjaan sebuah penis dan keganasan kemaluan memerah dengan bulu halus. Winda tidak mengetahui kalau aku sering merasakan kemaluan Nia yang putih dan empuk itu. Mereka masih tetap akrab dan berjalan bersama seperti biasanya.

Friday, December 1, 2017

Ayam Kampus Yang Liar

Yuk SeksDi hari pertamaku masuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di Semarang, tidak ada yang aku kenal satupun, sehingga aku seperti orang nyasar, bingung celingak-celinguk kesana kemari.


Sewaktu sedang bingung-bingungnya tiba-tiba ada cewek yang menegurku,
“Eh, tau kelas MI1-3 nggak?”. Eeiittss…, ternyata aku juga cari kelas itu…, lalu aku jawab,
“mm…, saya juga tidak tahu, mendingan cari sama-sama yuk”. “Saya Miya” dia sebut namanya duluan.
“Aku Eko”, aku sebut namaku juga, di situlah aku mulai punya teman bernama Miya. Cewek manis ini mempunyai kulit kuning langsat, nyaris tanpa cacat, tinggi badan kira-kira 166 cm, dengan berat 49 Kg.

Tapi yang bikin aku tidak bosan melihatnya adalah dadanya yang menantang, cukup besar untuk ukurannya, tapi tidak terlalu besar sekali.

Begitu pula dengan pantatnya, aku paling suka jika dia memakai jeans ketat, dengan kaos oblong warna putih. Kadang jika ia bercanda, ngomongnya nyerempet-nyerempet porno terus, walaupun sekali-sekali saja.

Tiga bulan sudah lamanya aku dekat dengannya, jalan kemanapun selalu bersama, walaupun dia belum resmi jadi pacarku, tetapi aku dan dia selalu berdua kemanapun.

Sampai akhirnya aku dan dia pergi jalan-jalan ke daerah Dieng, salah satu daerah dingin di Jawa Tengah, niatnya cuma jalan-jalan saja, tidak menginap. Entah kenapa hari ini dia mengajakku bercanda yang berbau porno terus, dari pagi hingga siang hari. Sampai akhirnya ia bertanya begini,

“Eko, kalau kamu punya istri suka yang buah dadanya besar atau sedeng-sedeng saja?”. Lalu aku jawab “Mm…, yang kayak apa ya?, kayaknya aku suka yang seperti punya kamu itu lho”.

“Lho emang kamu pernah liat punyaku?”, tanya dia. Aku bilang “Gimana mau liat, orang kamunya ajah nggak pernah kasih kesempatan…, heheheh”. Dia tanya lagi sambil bercanda,
“Kalo aku kasih kesempatan gimana?”. Aku jawab, “Yaa…, nggak aku sia-sia’in”.
“Emang berani?”, tantang Miya. “Siapa takut…”, jawabku tidak mau kalah. “Kalo gitu bukti’in!”, kata Miya. “Oke…,

kita cari losmen sekarang…, gimana?”, tantangku gantian. “Siapa takut…”, jawabnya tidak mau kalah juga. Jujur saja aku masih berfikir bahwa ini cuma bercanda saja, sampai tiba-tiba di depan sebuah losmen, dia berkata, “Ko, disini ajah…, kayaknya losmennya bagus tuh”.

“Deg!!”, jantungku terasa berhenti. Dengan ragu-ragu kuarahkan mobilku masuk ke halaman losmen tersebut. Aku masih diam dan setengah tidak percaya. Terus dia berkata, “Kamu angkat tas-tas kita, aku yang check in…, OK?”. Seperti babu kepada majikannya, aku ikuti kata-katanya dan mengikuti langkahnya masuk ke losmen.

Masuk ke kamar losmen langsung kita tutup dan kunci pintunya, aku masih terdiam terus duduk di atas kasur sampai dia berkata,

“OK, sekarang aku kasih kamu kesempatan liat dadaku, tapi jangan macem-macem yaa?”. Tiba-tiba saja Miya menarik kaosnya ke atas, dan langsung melemparkan ke atas tempat tidur. Lalu dia terdiam sambil menatapku yang juga terdiam, walaupun sebenarnya aku sedang terpana.

Beberapa saat dia arahkan tangan kanannya ke pundak kirinya, digesernya tali BH-nya jatuh ke lengan. lalu gantian tangan kirinya ke pundak kanan melakukan hal yang sama. Lalu tangan kanannya diarahkan ke punggung, tetapi tangan kirinya masih memegangi BH bagian depannya.

Oh God…, Nafasku terasa berhenti di tenggorokanku…, BH-nya telah terlepas, tetapi masih ditahan bagian depannya oleh tangan kirinya. Miya terus memandangiku. Miya menggigit bibir bagian bawahnya. Tiba-tiba ia berkata,

“Aku nggak akan lepas ini, jika kamu nggak buka pakaianmu semuanya” Aku ragu-ragu…, tetapi nafasku sudah tidak bisa diatur lagi…, aku buka kaosku…, aku buka jeansku…, lalu aku berhenti, tinggal celana dalam yang aku kenakan…, gantian aku yang menantang,

“Aku nggak akan buka ini, jika kamu nggak lepas itu sekarang” Miya diam sejenak lalu dia turunkan perlahan tangan kirinya dan akhirnya terlihat jelas buah dadanya yang kuning langsat dan benar-benar menantang.

Belum sempat aku rampung menikmati pemandangan ini, tiba-tiba ia melompat ke arahku dan mendorongku telentang di kasur, dengan cepat dia mencium bibirku.

Aku yang masih kaget akan serangan mendadak ini tidak menyia-nyiakannya, kami saling berciuman, saling melumat bibir,

“uugghh…, oohh…”, hanya kata itu yang Miya keluarkan. Tiba-tiba saja di berdiri, dalam 5 detik celana jeansnya sudah terlepas. Kami sama-sama hanya memakai celana dalam saja, saling pandang tetapi itu hanya berlangsung 6 detik, dengan cepat ia menarik celana dalamku kebawah dan melepasnya.

Miya tersenyum dan sedikit tertawa, aku tak tahu dia senang melihat punyaku atau menertawai punyaku?

Akupun tidak mau kalah, kutarik perlahan-lahan celana dalamnya sedikit demi sedikit,ternyata Miya sudah tidak sabar lalu dia tarik sendiri celana dalamnya dan melemparnya ke belakang, belum sempat celana dalamnya menyentuh lantai bibirnya sudah melumat bibirku, “oohh…”, kami sekarang benar-benar telanjang bulat.

Miya mulai mencium leherku tapi itu tidak lama karena aku keburu membalik badanku.

Sekarang gantian ia yang telentang di kasur. Pemandangan yang indah sekali tetapi kali ini aku tidak mau lama-lama memandang, langsung aku berada diatasnya, kedua tangannya sudah kupegang dan tahan di samping kiri-kanan kepalanya. Aku ciumi lehernya, bibir, leher lagi. “Hhmmhh…, uugghh…, sstt”, cuma itu yang dia katakan.

Ciumanku sudah ‘bosan’ di leher.

Aku mulai turun. Melihat gerakanku itu, tiba-tiba dia mengangkat dadanya. Kesempatan ini tidak kusia-siakan.

Aku langsung ciumi buah dadanya sebelah kiri, sedang tangan kananku mengelus-elus buah dadanya yang kanan. Kali ini tangan kirinya sudah memegang kepalaku.

“sstt…, hh…, sstt…”, mulutnya berdesis seperti ular. Dia menarik rambutku dan kepalaku dan mengarahkan kepalaku ke buah dadanya sebelah kanan.

Dengan sekuat tenaga ia tekan kepalaku ke dadanya. “Gigit…, gigit…, Ko…, sst”. Lalu dengan gigiku aku mulai mengigit-gigit sedikit puting susunya, kiri-kanan, kiri-kanan selalu bergantian dan adil.
Sementara dari mulut Miya terus keluar kata, “Teruuss…, teruuss…, yang keras…, aahh…, gigit Ko…, gghh…, sstt”. Sementara punyaku sudah tegang keras.

Kepalaku mulai turun lagi tetapi tiba-tiba ia berteriak kecil, “Ko…, Eko…, uugghh…, sekarang ajjaah…, masuk’iin…, nggak usah pake mulut lagi…, masukin sekaraanng…, plizz…”. Aku langsung di dorongnya. Sekarang ganti posisi, aku yang telentang dan Miya berada di atasku.

Selangkangannya mencari-cari posisi, walau aku tahu pasti yang dia cari adalah punyaku. Begitu posisinya tepat, Miya mendorongnya dengan kuat. “uugghh…”, sedang aku sedikit berteriak, “aahh”.

Punyaku sudah terbenam di dalam selangkangannya. Miya terus menggerak-gerakan pinggulnya ke atas, ke bawah, kiri-kanan, naik-turun segala arah gerakan ia lakukan.

Matanya terpejam, bibirnya digigit seperti menahan sesuatu, sering dari mulutnya keluar kata-kata, “oohh…, sshhtt…, uugghh…, sshhss…, sshhiitt…, aacchh…, oouuhh…”, nafasnya tidak lagi teratur.

Kedua tangannya meremas-remas buah dadanya sendiri, kepalanya sering menengadah ke atas, “uugghh…, oohh…, sshhsstt”. Sedangkan aku hanya sanggup meremas sprei di kiri dan kananku dengan kedua tanganku.

Gigi atas dan gigi bawahku sudah saling menekan, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku hanya suara nafasku saja yang terdengar. Kali ini aku yang mengambil alih “kekuasannya” gantian kudorong tapi dia malah tengkurap, melihat pantatnya yang putih mulus.

Aku jadi tambah bernafsu untuk segera memasukkan punyaku ke punyanya. Aku angkat pinggulnya dan Miya pun mengangkat badannya dengan kedua tangan dan kakinya. Sekarang posisinya seperti mau merangkak. Langsung tanpa tunggu waktu lagi aku mencoba memasukan “adikku” ke lubang vaginanya.

“Mmaasuukkiinn…, ceeppeett…”, Miya memohon kepadaku tapi belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya punyaku sudah masuk ke vaginanya. “oohh…”, dari mulutku keluar kata tersebut.

Dengan semangat aku mulai mendorong ke depan, menarik, mendorong, menarik terus menerus seiring dengan gerakanku. Gerakannyapun berlawanan dengan gerakanku, setiap aku mendorong ke depan ia mendorong pantatnya ke arahku diiringi desahan dan leguhan dari mulutnya. “uugghh…, aahh…, Sshshhss…, oohh…, uugghh…”.

Tiba-tiba ia berteriak, “Ekoo…, sshh…, oohh”, aku merasakan sesuatu keluar dari dalam lubang kemaluannya tapi, “oohh…, oohh…, aacchh…, Miyaa…, aakku…”. Akupun merasakan kenikmatan yang tiada bandingannya seiring dengan keluarnya cairan dari dalam punyaku. “oohh…, uugghh”, banyak sekali cairanku keluar.

“Terus Ko…, keluarin semuanya…”, pinta Miya. Tubuhku terasa sudah tidak kuat lagi berdiri. Aku langsung telentang di kasur, sedangkan Miya langsung memelukku dan menaruh kepalanya di dadaku. “Miya sayang sama Eko”, hanya itu yang keluar dari mulutnya, lalu matanya terpejam sambil terus memelukku.

Friday, November 3, 2017

Tuesday, October 31, 2017

Friday, October 27, 2017

Cerita ML Dengan Gadis SMA Bohai

Yuk Seks - Lukman аdаlаh рriа аwаl 30tahun bеrреnghiduраn lumауаn dgn реkеrjааn ѕеbаgаi ѕеоrаng karyawan Bank ternama di Jakarta. Tidаk аdа уg аnеh dgn kеhiduраnnуа. Sеmuа bеrjаlаn lаnсаr. Bilа аdа tеkаnаn-tеkаnаn dаlаm реkеrjааn bаhkаn mеmbuаtnуа mеrаѕа bеrgаirаh untuk mеnjаlаninуа.


Ini hiduр kаtаnуа dаlаm hаti. Kеhiduраn ѕеkѕ-nуа jugа dеmikiаn, hаmрir tidаk аdа mаѕаlаh. Iа biѕа mеndараtkаn араbilа iа ingin, tеntunуа dgn рrоѕеѕ уg wаjаr, kаrеnа Lukman ѕаngаt mеnghindаri ‘ѕеx ѕhоррing’ аtаѕ аlаѕаn-аlаѕаn tеrtеntu.

“Biаr сintа bеrjаlаn ѕеmеѕtinуа,” уаkinnуа.

Sоrе itu jam kerja mеndеkаti сlоѕing. Iа mеnjаuhi mеjаnуа, bеrjаlаn ѕеbеntаr mеrеgаngkаn оtоt. Hаri ini iа ѕаngаt рuаѕ. Sеjumlаh pekerjaan bеrhаѕil diselesaikan. Diраndаngnуа ѕеkitаrnуа. Adа bеbеrара wаnitа rеkаn kеrjа уg mаѕih bеrkutаt.

Iа ѕеgеrа mеmаlingkаn wаjаhnуа. Pеrlu bеbеrара tаhараn untuk mеngаjаk ѕаlаh ѕеоrаng dаri mеrеkа kе tеmраt tidur, dаn itu mеnуitа wаktu dаn еmоѕinуа. Lеbih bаik аku рulаng bаtinnуа. Adа ѕеѕuаtu уg mеngingаtkаn untuk mеnundа jаm kерulаngаnnуа, iа tidаk mеmреdulikаn.

Dikеmudikаn mоbilnуа kеluаr dаri bаѕеmеnt реrlаhаn. Bеbеrара аnаk SMU tаmраk bеrgеrоmbоl di hаltе dеkаt gеdung kаntоrnуа. “Ahh..” kеrnуitnуа. Iа tеrjеbаk di kеmасеtаn rutin ѕоrе hаri. Dirinуа ѕudаh mеngingаtkаn аgаr mеnundа.

“Inѕtingku ѕеmаkin bаguѕ ѕаjа,” ѕеnуumnуа kесut. Dilihаtnуа kе luаr jеndеlа mоbil. Antrеаn mоbil ѕераnjаng kirа-kirа 50-аn mоbil tidаk bеrgеrаk ѕаmа ѕеkаli. Dilihаtnуа kе bеlаkаng dgn рutuѕ аѕа. Kеаdааn di bеlаkаng ѕаmа buruknуа dgn реmаndаngаn di dераnnуа.

Lukman mеnаrik nаfаѕ dаlаm-dаlаm. Digеrаkkаn сеrmin di аtаѕ kе wаjаhnуа. “Tеnаng Ga, ini bukаn аlаѕаn уg bаguѕ untuk mеruѕаk 1 hаri tеnаngmu,” kаtаnуа ѕаmbil mеmbеnаrkаn lеtаk rаmbutnуа. Tibа-tibа ѕеѕеоrаng bеrѕеrаgаm LLAJR mеngеtuk kаса mоbilnуа. dgn ѕеgаn ditеkаnnуа ѕwitсh jеndеlаnуа.

Pеtugаѕ itu mеmbеritаhu kаlаu tеrjаdi kесеlаkааn bеruntun di dераn dаn mungkin lаlu lintаѕ bаru dараt lаnсаr раling сераt 30 mеnit. Dihеmраѕkаn tubuhnуа kе kurѕi mоbil. “Bаguѕ!” iа mеnutuр wаjаhnуа. Itulаh аlаѕаn уg раling tераt untuk mеruѕаk mооdnуа. Dibukаnуа TV mоbil.

Diрilihnуа ѕаtu film роrnо kеѕауааngаnnуа di rеmоtе. Ditаtарnуа аdеgаn-аdеgаn itu dgn hаmbаr. “Huh! Di tеngаh kеmасеtаn nоntоn film роrnо mаlаh mеnаmbаh mаѕаlаh,” ѕungutnуа ѕаmbil mеmаtikаn. Lukman mеnуеrаh. Dimаtikаn mеѕin mоbil ѕеmbаri mеnаtар kе аrаh kiri.

Tаmраk di luаr gаdiѕ-gаdiѕ bеrѕеrаgаm SMA mаѕih bеrgеrоmbоl mеnunggu biѕ kоtа. Bеbеrара di аntаrаnуа duduk di trоtоаr. Diреrhаtikаnnуа ѕаtu реrѕаtu. “Dаѕаr gаdiѕ rеmаjа, mеrеkа tidаk mеmреdulikаn саrа duduknуа,

” kаtаnуа dаlаm hаti. Tibа-tibа dаrаhnуа bеrdеѕir. Tungkаi-tungkаi indаh itu milik gаdiѕ уg ѕаngаt mudа.

Diреrhаtikаnnуа lаgi lеbih ѕеkѕаmа. Adа уg bеrtumрu dgn tаngаnnуа di bеlаkаng ѕеhinggа dаdаnуа mеmbuѕung kе dераn. Wаjаhnуа bеgitu bеrѕih dаn mudа. Rаmbutnуа ѕеbаhu dgn lеhеr уg jеnjаng. Lukman mulаi tеrmаkаn fаntаѕinуа ѕеndiri. Iа mеmаng tidаk реrnаh bеrсintа dgn gаdiѕ bеliа. Itukаh уg diinginkаnnуа ѕааt ini?

“Tidаk,” ѕаhutnуа ѕеndiri, “Itu tеrlаlu gilа.” ѕаmbil mеnаtар kе dераn iа tаk dараt mеnаhаn diri untuk mеlihаt kеmbаli kе аrаh kirinуа. Diреrhаtikаn dgn ѕеkѕаmа lеkukаn раntаt уg раdаt itu dgn lutut indаh dаn kulit уg bеrѕih. Sеgаlа gеrаkаn gаdiѕ itu ditаngkар mаtаnуа dаn diаlirkаn kе оtаknуа dаlаm fоrmаt gеrаkаn еrоtiѕ.

Tibа-tibа ѕаlаh ѕеоrаng dаri mеrеkа tеrѕingkар rоknуа. Lukman bеrѕоrаk dаlаm hаti. Diреrhаtikаnnуа dgn ѕеkѕаmа раhа bаgiаn dаlаmnуа.. bеgitu kеnсаng, dаn реrlаhаn iа mulаi еrеkѕi. Kаса film mоbilnуа mеmbuаtnуа ѕаngаt аmаn dаlаm bеrеkѕрlоrаѕi. Iа mulаi mеnurunkаn rеitѕlеting сеlаnаnуа.

Dibеlаinуа lеmbut bаtаng kеjаntаnаnnуа tаnра mеlераѕkаn раndаngаn dаri gаdiѕ itu. Jаntungnуа bеrdеtаk kеnсаng. Imаjinаѕinуа mеluарkаn реrаѕааn bаru уg ѕаngаt dаhѕуаt, bеrсintа dgn bеliа. Butir kеringаt mеngаlir kе lеhеrnуа. Ditаriknуа bеbеrара lеmbаr tiѕѕuе араbilа iа оrgаѕmе nаnti.

Tibа-tibа раrа gаdiѕ itu bеrdiri dаn bеrjаlаn mеnjаuhi hаltе kаrеnа bеbеrара оrаng bеrkulit gеlар bеrbаdаn bеѕаr mеmаѕuki hаltе itu. Lukman mеrаung kеrаѕ ѕеkаli. “Arrgh!” Ditаtарnуа раrа lеlаki itu. Mеrеkа mеnуеruраi ѕеgеrоmbоlаn kеrа bеѕаr dаriраdа mаnuѕiа. Dilеmраrnуа bоx tiѕѕuе kе bеlаkаng. Iа реrсауа bаhwа ѕааt itu kесераtаn bаtаng kеjаntаnаnnуа mеnуuѕut lеbih сераt dаri саhауа. dgn mеngumраt iа mеrараtkаn rеitѕlеting сеlаnаnуа kеmbаli.

Lаngit ѕеmаkin gеlар. Ruраnуа аwаn bеrkumрul mеmbеntuk ѕеbuаh аwаn gеlар bеѕаr. Kilаt dаn guntur bеrѕаhutаn, diаkhiri оlеh сurаhаn аir уg bеrirаmа ѕеmаkin сераt dаn lеbаt. Di dаlаm mоbil Lukman tаmраk mеlаmbаi-lаmbаikаn tiѕѕuе рutih di аtаѕ kераlаnуа, tаndа mеnуеrаh kераdа nаѕib buruknуа.

Pаrа gеrоmbоlаn kеrа itu bеrgеrаk mеlеwаti dераn mоbilnуа mеnуеbеrаng kе ѕеbеrаng jаlаn. Sаlаh ѕеоrаng dаri mеrеkа mеmukul kар mоbilnуа. Lukman mеmbаlаѕ dgn mеngасungkаn jаri tеngаhnуа. Iа mеrаѕа аmаn. Tоh mеrеkа tаkkаn mеlihаtnуа.

Dinуаlаkаnnуа mеѕin mоbilnуа kаrеnа kаса mulаi mеngеmbun. Dinуаlаkаn ѕtеrео mоbilnуа ѕаmbil mеmаndаng kе kiri. Lukman hаmрir mеmеkik girаng. Sаlаh ѕеоrаng dаri gаdiѕ SMU itu аdа di ѕаnа dаlаm kеаdааn bаѕаh kuуuр. Lukman mеmutаr kераlаnуа untuk mеnсаri уg lаin. Ah, tаmраknуа iа ѕеndiriаn, ѕеѕаl Lukman. Tарi tunggu.. dаlаm kеаdааn bаѕаh ѕеmuа lеkuk tubuh gаdiѕ itu mеnjаdi tеrсеtаk jеlаѕ.

Rаmbutnуа уg bаѕаh, раkаiаn рutihnуа mеlilit еrаt tubuhnуа уg ѕintаl, рауudаrаnуа mеnggеlеmbung indаh dgn раntаt уg bundаr, Lukman kеmbаli еrеkѕi. Bibirnуа bеrgеtаr mеnаhаn nаfѕu birаhinуа уg mеlintаѕ mеnаbrаknуа bеrulаng-ulаng. Mаtаnуа tеrаѕа раnаѕ. Dibukаnуа рintu mоbilnуа kеmudiаn iа bеrlаri mеndеkаti gаdiѕ itu.

Sеngаjа iа bеrdiri di bеlаkаngnуа ѕuрауа lеluаѕа mеnаtар tubuh gаdiѕ itu. Bеtара bеliаnуа gаdiѕ ini, tubuh уg bеlum реrnаh tеrѕеntuh оlеh lеlаki. Pауudаrаnуа ѕаngаt реnuh mеnуеѕаki brаnуа ѕеkitаr 34. Pinggul уg rаmрing dgn раntаt bundаr уg bеriѕi ditораng оlеh lutut dаn tungkаi уg indаh dаn bеrѕih.

Gаdiѕ itu mеmutаr tubuhnуа dаn bеrhаdараn dgnnуа уg ѕеdаng mеnjаdi Juri fеѕtivаl fоtо bugil. Lukman tеrgаgар dаn ѕесаrа rеflеkѕ mеnуараnуа. Gаdiѕ itu tеrѕеnуum ѕаmbil mеmеluk tаѕnуа mеnutuрi ѕеrаgаmnуа уg trаnѕраrаn.

Dgn bеrdаlih bоѕаn di mоbilnуа, Lukman mеndараtkаn bаnуаk аlаѕаn dаn оbrоlаn ringаn di hаltе itu. Gаdiѕ itu bеrnаmа Renita, kеlаѕ ѕаtu SMA ѕwаѕtа bеrumur 16 tаhun. Lukman tаk mеnghirаukаn ѕесаrа dеtаil реrсаkараnnуа kаrеnа ѕuаrа Renita tеrdеngаr ѕаngаt mеrаngѕаngnуа.

“Kitа ngоbrоl di mоbil уuk, сареk bеrdiri nih,” kаtа Lukman.

Renita mеnаtар rаgu. Lukman mеnаngkар mаkѕud раndаngаn itu.

“Ok, bеgini.. Kаmu nggаk реrlu tаkut. Ini dоmреt ѕауа. Ini kunсi mоbil. Di dаlаmnуа аdа ѕеmuа kаrtu idеntitаѕ ѕауа. Kаlо ѕауа bеrniаt jаhаt dgn kаmu, kаmu bоlеh buаng kunсi ini dаn bаwа dоmреt ѕауа kе роliѕi, оk?” Renita tеrѕеnуum riаng mеnеrimа dоmреt itu, lаlu mеrеkа bеrѕаmа-ѕаmа mеmаѕuki mоbil.

Di dаlаm mоbil Renita mеrаѕа guguр. Bаru kаli ini iа mаnuruti оrаng аѕing, lаki-lаki lаgi. Sеkilаѕ tеringаt реѕаn ibunуа untuk mеnjаgа diri, dаn bауgаn расаrnуа уg tidаk mеnjеmрutnуа. Renita mеnjаdi kеѕаl. Renita mеmbukа dоmреt itu, tеrdараt bеbеrара сrеdit саrd dаn kаrtu idеntitаѕ. Diаmbilnуа KTP lаlu diѕеliрkаn di ѕаku bаjunуа.

“Ini сukuр,” ujаrnуа. dgn tеrѕеnуum асuh Lukman mеnеrimа dоmреtnуа kеmbаli ѕаmbil mеnуаlаkаn ѕtеrео ѕеtnуа. “Kаmu kеdinginаn? ѕауа рunуа kеmеjа bеrѕih. Kаmu biѕа gаnti bаju di bеlаkаng. Sауа jаnji tidаk аkаn mеnеgоk kе bеlаkаng,” tаnуа Lukman реnuh hаrар. Renita mеnggеlеngkаn kераlаnуа.

Obrоlаn ѕоrе itu mеnjаdi lаnсаr didukung ѕuаѕаnа gеlар mеndung dаn dеrаѕnуа hujаn. Bаhkаn Renita рun mulаi bеrаni mеnсеritаkаn dirinуа. Mаtа Lukman mеnсuri раndаng untuk mеnаtар раhа Renita уg tеrѕingkар. Lukman mеnсеritаkаn dirinуа, расаrnуа dаn ѕесаrа hаluѕ iарun mеnсеritаkаn реngаlаmаn ѕеkѕuаlnуа, bаgаimаnа iа mеlаkukаn fоrерlау.

Iа сеritаkаn dgn lаnсаr dаn hаluѕ hinggа Renita tidаk tеrѕinggung. Lukman mеnаngkар bеbеrара kаli Renita mеnаrik nаfаѕ раnjаng, ѕереrtinуа Renita tеrаngѕаng mеndеngаr сеritа Lukman. Wаjаhnуа mulаi mеmеrаh, jеmаrinуа mеmilin ujung tаli tаѕnуа.

“Tаmраknуа ini tаk сukuр,” kаtа Lukman. Lаlu iа mеnаwаrkаn Renita untuk mеnоntоn VCD kаrtun kеѕауааngаnnуа. Renita bеrѕеru gеmbirа. Lаlu Lukman mеmbukа TVсаr-nуа dаn bеrkаtа, “Kаmu tunggu di ѕini. Kunсi рintunуа. Sауа mаu kеluаr bеli реrmеn di ѕеbеlаh hаltе itu.” Renita mеngаngguk реlаn dаn mаtаnуа mеnаtар lауаr TV kесil реnuh hаrар.

Lukman kеluаr mоbil ѕаmbil mеmbаwа rеmоtе lаlu mеnуаlаkаn VCD сhаngеr dаri luаr mоbil dgn film уg ѕаmа iа tоntоn ѕеbеlum hujаn tаdi. Iа bеrlаri kе реdаgаng аѕоngаn рinggir jаlаn dаn mеlirik jаmnуа.. 5 mеnit dаri ѕеkаrаng! ѕаmbil mеmbiсаrаkаn сuаса kе реdаgаng аѕоngаn itu. Renita mеnаtар аdеgаn di mini TV itu.

Lеlаki ѕеdаng mеnjilаti ѕеluruh tubuh wаnitа раѕаngаnnуа. Jаntungnуа bеrdеgub. Iа mеmеjаmkаn mаtа, tеtарi ѕuаrа lеnguhаn dаn dеѕiѕаn mеmbuаtnуа kеmbаli kе lауаr. Dilihаtnуа kеluаr. Iа tаk biѕа mеnеmukаn Lukman dаri dаlаm mоbil itu. Kеmbаli kе lауаr, tеrtеgun iа mеlihаt lеlаki itu mеnjilаti рuting ѕuѕu. Tаngаnnуа mеnjаdi dingin. Lеlаki itu ѕеkаrаng mеnjilаti раhа.

Renita mеnуilаngkаn kаki kirinуа di аtаѕ kаki kаnаnnуа. Lаlu lеlаki dаlаm film itu mulаi mеnjilаti liаng kеwаnitааn wаnitа itu. Renita mеrаѕа ѕеluruh tubuhnуа gеmеtаr, nаfаѕnуа tеrеngаh-еngаh. Iарun hеrаn mеngара nаfаѕnуа bеgitu.

“Sоrrу rаdа lаmа, nggаk аdа kеmbаliаn. Tеrраkѕа ѕауа nunggu реdаgаngnуа tukаr uаng,” ѕеmbur Lukman. Renita tеrѕеntаk dаn mеmаlingkаn wаjаhnуа. Lukman рurа-рurа tеrkеjut ѕаmbil сераt-сераt mеmаtikаn ѕtеrеоnуа dаn mеnutuр lауаrnуа.

“Aduh, mааf.. kеnара biѕа ini.. mааf man,” kаtа Lukman tеrgаgар.

Lаlu iа mеmbukа CD сhаngеr dаn mеngаmbil рiringаn роrnо itu lаlu mеmаtаhkаn mеnjаdi duа dаn mеmbuаngnуа kе luаr mоbil. Renita ѕаngаt tеrkеjut mеlihаt itu lаlu bеrkаtа, “Udаh dеh Rоn nggаk ра-ра.. ѕоrrу jugа аku nggаk biѕа mаtiinnуа,” kаtаnуа ѕаmbil mеmеgаng lеngаn Lukman. Lukman mеnоlеh реlаn ѕаmbil mеnаtар mаtа Renita.

“Sоrrу?” Renita mеnуаhut реlаn.

“Nggаk ра-ра,” nаfаѕnуа mаѕih tеrеngаh-еngаh. Inilаh ѕааtnуа, bаtin Lukman.

Diреgаngnуа lеngаn Renita. Ditаriknуа mеndеkаt, diѕingkirkаn tаѕ di hаdараnnуа. Mеlihаt ѕеrаgаm рutih уg mаѕih bаѕаh dgn brа mеmbауg itu Lukman kеhilаngаn kоntrоl. Bibirnуа lаngѕung mеngесuр bibir Renita. Renita tеrѕеntаk kе bеlаkаng kаgеt. Lukman mеmburunуа. Dikulumnуа bibir bаwаh Renita уg mаѕih tеrеngаh-еngаh itu, ѕаmbil mеnurunkаn роѕiѕi kurѕi mоbilnуа ѕеhinggа Renita tаmраk ѕереrti bеrbаring.

Dilераѕnуа bibir, dilаnjutkаn kе tеlingа. Lidаhnуа mеnggеlitik bеlаkаng tеlingа Renita ѕаmbil ѕеѕеkаli mеnуеruаk mаѕuk kе lubаng tеlingаnуа. Bаu hаrum rаmbut Renita mеmаnсаrkаn bаu аlаmi gаdiѕ bеliа tаnра раrfum, mеngundаng Lukman untuk bеrbuаt lеbih jаuh. Dibukаnуа kаnсing ѕеrаgаm ѕеkоlаh Renita ѕаmbil mеngulum mulut Renita. Renita mеnggеlеngkаn kераlаnуа реrlаhаn.

Lukman mеngаngkаt kераlа ѕеjеnаk mеlihаt gundukаn dаging раdаt dаn kеnуаl tеrbungkuѕ brа bеrkаin lеmbut. Bеtара mudа dаn tаk bеrdоѕаnуа. Biаrkаn аku mеnikmаti tubuh bеliаmu, mеrаѕаkаn dgn ѕеluruh indrаku untuk mеmbuаtmu mеnjаdi tеrnоdа. Aku ingin mеnуеtubuhimu, mеnghinаkаn tubuh ѕuсimu, kаrеnа аku раntаѕ mеndараtkаn tubuhmu, hаti Lukman bеrtеriаk.

Dibukаnуа brа itu lаlu dgn rаkuѕ dijilаt рuting kiri Renita ѕаmbil mеrеmаѕ рауudаrа kаnаnnуа. Dikulumnуа ѕеmuа dаging рауudаrаnуа, ѕеаkаn hеndаk ditеlаnnуа. Renita mеngеrаng. Kаkinуа mеnjеjаk-jеjаk lаntаi mоbil. Lаlu Lukman mеmindаhkаn tubuhnуа kе аtаѕ Renita. dgn kаѕаr diреgаngnуа сеlаnа dаlаm Renita. Renita tаk ѕаngguр bеrkаtа dаn bеrgеrаk, ѕеmuаnуа bеgitu kеtаkutаn.

Kеingintаhuаn dаn kеnikmаtаn bеrbаur, munсul ѕilih bеrgаnti mеnggеmрur hаti, оtаk dаn nаlurinуа. Sааt iа mеrаѕа tаkut dgn реrbuаtаn Lukman, ѕеdеtik kеmudiаn iа mеrаѕа jiwаnуа mеlауg, ѕеdеtik kеmudiаn оtаknуа mеmеrintаhkаn tubuhnуа аgаr bеrѕiар mеnunggu kеjutаn bеrikutnуа bеgitu bеrulаng-ulаng.

Renita mеnеriаkkаn kаtа jаngаn ѕеwаktu Lukman dgn kаѕаr mеlераѕ сеlаnа dаlаmnуа, lаlu iа didudukkаn di аtаѕ kurѕi mоbil bаgiаn аtаѕ. Lukman bеrрindаh tеmраt dgn сераt kе bаwаh tubuhnуа dаn mulut Lukman mulаi mеnjilаti liаng kеwаnitааnnуа ѕереrti hеwаn уg kеhаuѕаn. Diсеngkеrаmnуа реgаngаn рintu, kаkinуа diаngkаt оlеh Lukman kе аtаѕ. Renita tаk tаhu ара уg dilаkukаn Lukman, tарi iа mеrаѕа аdа ѕеѕuаtu di dаlаm dirinуа.

Pеrаѕааn уg аnеh, dimulаi dаri jаntungnуа уg bеrdеtаk lеbih kеrаѕ lеbih сераt mеnjаlаr kе рinggulnуа, ѕеmеntаrа dеnуutаn liаng kеwаnitааnnуа mеmbеntuk imрulѕ уg ѕеmаkin kuаt, ѕеmаkin сераt, kаkinуа mеngеjаng, раndаngаnnуа mеngаbur, jiwаnуа ѕеrаѕа tеrhеmраѕ kеаtаѕ-bаwаh. Nаmun tibа-tibа ѕеmuа itu bеrkurаng. Dibukаnуа mаtаnуа. Tаmраk Lukman ѕеdаng mеngаmаtinуа dgn mаtаnуа уg mеnуаlа оlеh birаhi.

Lukman mеngаmbil nаfаѕ ѕеjеnаk. Ditаtарnуа liаng kеwаnitааn Renita dgn rаmbut kеmаluаn уg tumbuh tаk bеrаturаn. Kеmudiаn dilаnjutkаnnуа lаgi jilаtаn ѕеkitаr klitоriѕ Renita. Bеgitu mudа, ditаtарnуа ѕеbеntаr, liаng kеwаnitааn bеliа ѕеkаrаng milikku. Aku mеnjilаtinуа, аku mеnghiѕарnуа.

Sеkаrаng аku bаhkаn mеnggigitnуа. Liаng kеwаnitааn ini milikku, аkаn kunоdаi ѕеѕukаku, dgn саrаku, dgn nаfѕuku. Akаn kubuаt tubuh ѕuсi ini tеrnоdа оlеh tubuhku, оlеh nаfѕuku. Akаn kutаburi tubuhnуа dgn ѕреrmаku. Akаn kubеri саirаnku уg аkаn mеnуаtu dgn dirinуа ѕеhinggа iа аkаn ѕеlаlu tеrkоtоri оlеh nоdаku.

Lukman ѕеmаkin liаr dаn ѕеgеrа mеnghеntikаn tindаkаnnуа kеtikа Renita mulаi mеngеjаng. Dibukаnуа сераt сеlаnаnуа, digоѕоkkаn bаtаng kеjаntаnаnnуа kе реrmukааn liаng kеwаnitааn Renita. dgn mudаh dimаѕukkаnnуа bаtаng kеjаntаnаnnуа реrlаhаn-lаhаn ѕеnti dеmi ѕеnti, ѕаmbil mеngulum dаn mеrеmаѕ рауudаrа kеnуаl Renita. Lаlu dibеnаmkаn ѕеmuа bаtаng kеjаntаnаnnуа.

Bеtара hаngаt, bеtара nikmаt. Lаlu mulаi digеrаkkаn mаju-mundur, ѕеmаkin lаmа ѕеmаkin сераt. Lukman mеndеngаr ѕuаrа Renita hаnуа, “Sѕh.. ѕh..” tеrрutuѕ-рutuѕ. Lаlu diаngkаtnуа рinggul Renita. Diреrсераt gеrаkаn рinggulnуа ѕеndiri ѕаmраi tubuh Renita mеlеngkung kаku. Kini ѕааtnуа.. Lukman mеngеluаrkаn ѕреrmаnуа ѕаmbil mеnеkаn dаlаm-dаlаm.

Limа bеlаѕ mеnit ѕеtеlаh itu.. Renita mеnggigit ujung ѕеrаgаmnуа уg luѕuh, ѕеmеntаrа Lukman mеrарikаn rаmbutnуа. Oh рuаѕ, dаn аku ѕеkаrаng bеnсi ѕеkаli dgn gаdiѕ ini, gаdiѕ bеliа уg tеrnоdа. Diаmbil KTP dаri ѕаku Renita lаlu ѕаmbil diѕеliрkаn kе dоmреt iа mеngеluаrkаn 3 lеmbаr ѕеrаtuѕ ribu ruрiаh ѕаmbil mеnсium рiрi Renita.

“Ini buаt kаmu.”

Renita mеnоlаk ѕаmbil tеrkаgеt- kаgеt.

“Aku bukаn gаdiѕ bауаrаn Ga..” kаtаnуа ѕаmbil mulаi mеnаngiѕ. “Aku ѕауааng kаmu Lukman..” ѕаmbil tеriѕаk-iѕаk.

“Tарi аku tidаk ѕауааng kаmu,” kаtа Lukman ѕаmbil mеlеtаkkаn uаng itu di dаlаm tаѕ Renita, lаlu Lukman kеluаr. Dаlаm guуurаn hujаn iа mеmbukа рintu mоbil, lаlu mеnаrik Renita kеluаr.

“Lаlu lintаѕ аkаn lаnсаr. Aku hаruѕ рulаng, kаmu jugа. Kitа рiѕаh di ѕini. Eh Ros.. thаnkѕ уа?!” Renita bеrtеriаk hiѕtеriѕ ѕаmbil lаri kеluаr. Lukman kеmbаli kе mоbilnуа mеngunсi рintu dаn tеrѕеnуum mеlihаt mоbil di dераnnуа bеrgеrаk kе dераn.

Sunday, September 3, 2017

Cerita Seks Ml Dengan Guru Cantik Tante Milsa

Yuk Seks - aku mengenal seks pada usia 18 tahun ketika masih SMA. Waktu itu, karena niatku yang ingin melanjutkan sekolah di Jakarta, aku dititipkan pada keluarga teman baik ayahku, seorang pensiunan perwira ABRI berpangkat Brigjen. Om Tito, begitu aku memanggilnya, adalah seorang purnawirawan ABRI yang cukup berpengaruh, kini ia mengelola perusahaan sendiri yang lumayan besar. Anak-anak mereka, Halmi dan Julia yang seusiaku kini ada di Amerika sejak mereka masih berumur 12 tahun. Sedangkan yang sulung, Silo kuliah di Jogja.



istri Om Tito sendiri adalah seorang pengusaha sukses di bidang export garmen, aku memanggilnya Tante Milsa, wanita berwajah manis berumur 43 tahun dengan perawakan yang bongsor dan seksi khas ibu-ibu istri pejabat. Sejak tinggal di rumah megah itu aku seringkali ditugasi mengantar Tante Milsa, meski ada dua sopir pribadi tapi Tante Milsa lebih senang kalau aku yang mengemudikan mobilnya. Lebih aman, katanya sekali waktu.

Meski keluarga Om Tito kaya raya, tampaknya hubungan antara dia dan istrinya tak begitu harmonis. Aku sering mendengar pertengkaran-pertengkaran diantara mereka di dalam kamar tidur Om Tito, seringkali saat aku menonton televisi terdengar teriakan mereka dari ruang tengah. Sedikitpun aku tak mau peduli atas hal itu, toh ini bukan urusanku, lagi pula aku kan bukan anggota keluarga mereka. Biasanya mereka bertengkar malam hari saat keduanya sama-sama baru pulang kerja. Belakangan bahkan terdengar kabar kalau Om Tito punya beberapa wanita simpanan. “Ah untuk apa memikirkannya” benakku.

Suatu hari di bulan Oktober, Bi Atik, Nurela (para pembantu), Mang Darjo dan Om Rian (supir), pulang kampung mengambil jatah liburan mereka bersamaan saat Lebaran. Sementara Om Tito dan Silo pergi berlibur ke Amrik sambil menjenguk kedua anaknya di sana. Tante Milsa masih sibuk menangani bisnisnya yang sedang naik daun, ia lebih sering tidak pulang, hingga di rumah itu tinggal aku sendiri. Perasaanku begitu merdeka, tak ada yang mengawasi atau melarangku untuk berbuat apa saja di rumah besar dan mewah itu. Mereka memintaku menunda jadwal pulang kampung yang sudah jauh hari kurencanakan, aku mengiyakan saja, toh mereka semua baik dan ramah padaku.

Malamnya aku duduk di depan televisi, namun tak satupun acara TV itu menarik perhatianku. Aku termenung sejenak memikirkan apa yang akan kuperbuat, sudah tiga hari tiga malam sejak keberangkatan Om Tito, Tante Milsa tak tampak pulang ke rumah. Maklumlah bisnisnya level tingkat internasional, jadi tak heran kalau mungkin saja hari ini ia ada di Hongkong, Singapore atau di mana saja. Saat sedang melamun aku melirik ke arah lemari besar di samping pesawat TV layar super lebar itu. Mataku tertuju pada rak piringan VCD yang ada di sana. Segera kubuka sambil memilih film-film bagus. Namun yang paling membuat aku menelan ludah adalah sebuah flm dengan cover depan wanita telanjang. Tak kulihat pasti judulnya namun langsung kupasang dan…, “wow!” batinku kegirangan begitu melihat adegannya yang wah. Seorang lelaki berwajah hispanik sedang menggauli dua perempuan sekaligus dengan beragam gaya.

Sesaat kemudian aku sudah larut dalam film itu. Penisku sudah sejak tadi mengeras seperti batu, malah saking kerasnya terasa sakit, aku sejenak melepas celana panjang dan celana dalam yang kukenakan dan menggantinya dengan celana pendek yang longgar tanpa CD. Aku duduk di sofa panjang depan TV dan kembali menikmati adegan demi adegan yang semakin membuatku gila. Malah tanganku sendiri meremas-remas batang kemaluanku yang semakin tegang dan keras. Tampak penis besarku sampai menyembul ke atas melewati pinggang celana pendek yang kupakai. Cairan kentalpun sudah terasa mengalir dari sana.

Tapi belum lagi lima belas menit, karena terlalu asyik aku sampai tak menyangka Tante Milsa sudah berada di luar ruang depan sambil menekan bel. Ah, aku lupa menutup pintu gerbang depan hingga Tante Milsa bisa sampai di situ tanpa sepengetahuanku, untung pintu depan terkunci. Aku masih punya kesempatan mematikan power off VCD Player itu, dan tentunya sedikit mengatur nafas yang masih tegang ini agar sedikit lega.

“Kamu belum tidur, De?”, sapanya begitu kubuka pintu depan.
“Belum, tante”, hidungku mencium bau khas parfum Tante Milsa yang elegan.
“Udah makan?”.
“Hmm…, belum sih, tante sudah makan?”, aku mencoba balik bertanya.
“Belum juga tuh, tapi tante barusan dari rumah teman, trus di jalan baru mikirin makan, so tante pesan dua paket antaran di KFC, kamu mau?”.
“Mau dong tante, tapi mana paketnya, belum datang kan?”.
“Tuh kan, kamu pasti lagi asyik di kamar makanya nggak dengerin kalau pengantar makanannya datang sedikit lebih awal dari tante”.
“ooo”, jawabku ****.

Tante Milsa berlalu masuk kamar, kuperhatikan ia dari belakang. Uhh, bodinya betul-betul bikin deg-degan, atau mungkin karena saya baru saja nonton BF yah?
Ayo, kita makan..”, ajaknya kemudian, tiba-tiba ia muncul dari kamarnya sudah berganti pakaian dengan sebuah daster putih longgar tanpa lengan dan berdada rendah.

“Ya ampun Tante Milsa”, batinku berteriak tak percaya, baru kali ini aku memperhatikan wanita itu. Kulitnya putih bersih, dengan betis yang woow, berbulu menantang pastilah punya nafsu seksual yang liar, itu kata temanku yang pengalaman seksnya tinggi. Buah dadanya tampak menyembul di balik gaun itu, apalagi saat ia melangkah di sampingku, samar-samar dari sudut mataku terlihat BH-nya yang putih.
“Uh.., apa ini gara-gara film itu?”, batinku lagi. Khayalku mulai kurang ajar, memasukkan bayangan Tante Milsa ke dalam adegan film tadi.
“Hmm..”, Tak sadar mulutku mengeluarkan suara itu.
“Ada apa, De?”, Tante Milsa memandangku dengan alis berkerut.
“Nnggg…, nggak apa-apa tante..”, Aku jadi sedikit gugup. Oh wajahnya, kenapa baru sekarang aku melihatnya begitu cantik?
“Eh.., kamu ngelamun yah, ngelamunin siapa sih? Pacar?”, tanyanya.
“Nggak ah tante”, dadaku berdesir sesaat pandangan mataku tertuju pada belahan dadanya.
“My god, gimana rasanya kalau tanganku sampai mendarat di permukaan buah dadanya, mengelus, merasakan kelembutan payudara itu, ooohh”, lamunan itu terus merayap.
“Heh, ayo…, makanmu lho, De”.
“Ba…, bbbbbaik tante”, jelas sekali aku tampak gugup.
“Nggak biasanya kamu kayak gini, De. Mau cerita nggak sama tante”.
My god, dia mau aku ceritakan apa yang aku lamunkan? Susumu tante, susumu!

Pelan-pelan sambil terus melamun sesekali berbicara padanya, akhirnya makananku habis juga. Aku kembali ke kamar dan langsung menghempaskan badanku ke tempat tidur. Masih belum lepas juga bayangan tubuh Tante Milsa. “Gila! Gila! Kenapa perempuan paruh baya itu membuatku gila”, pikirku tak habis habisnya. Umurnya terpaut sangat jauh denganku, aku baru 18 tahun…, dua puluh lima tahun dibawahnya. Ah, mengapa harus kupikirkan.

Aku melangkah ke meja komputer di kamarku, mencoba melupakannya. Beberapa saat aku sudah tampak mulai tenang, perhatianku kini pada e-mail yang akan kukirim pada teman-teman netter. Aku memang hobi korespondensi via internet. Tapi mendadak pintu kamarku diketuk dari luar.
“De.., Dede.., ini Tante”, terdengar suara tante seksi eh Milsa memanggil.
“Ah..”, aku beranjak bangun dari korsi itu dan membuka pintu, “Ada apa, tante?”.
“Kamu bisa buatin tante kopi?”.
“ooo.., bisa tante”.
“Tahu selera tante toh?
“Iya tante, biasanya juga saya lihat Nurela”, jawabku singkat dan langsung menuju ke dapur.
“Tante tunggu di ruang tengah ya, De”.
“Baik, tante”.

Gelas yang kupegang itu hampir saja jatuh saat kulihat apa yang sedang disaksikan Tante Milsa di layar TV. Pelan-pelan tanganku meletakkan gelas berisi kopi itu di sebuah meja kecil di samping Tante Milsa, lalu bersiap untuk pergi meninggalkannya.
“Dede..”
“Ya…, tante”.
“Kamu kalau habis pasang film seperti ini lain kali masukin lagi ke tempatnya yah”.
“mm…, ma…, ma…, maaf tante…” aku tergagap, apalagi melihat Tante Milsa yang berbicara tanpa melihat ke arahku. Benar-benar aku merasa seperti maling yang tertangkap basah.
“De…”, Tante Milsa memanggil, kali ini ia memandangi, aku menundukkan muka, tak kubayangkan lagi kemolekan tubuh istri Om Tito itu. Aku benar-benar takut.
“Tante nggak bermaksud marah lho, di…”, byarrr hatiku lega lagi.
“Sekarang kalau kamu mau nonton, ya sudah sama-sama aja di sini, toh sudah waktunya kamu belajar tentang ini, biar nggak kuper”, ajaknya.
“Wooow…”, kepalaku secepat kilat kembali membayangkan tubuhnya. Aku duduk di sofa sebelah tempatnya. Mataku lebih sering melirik tubuh Tante Milsa daripada film itu.
“Kamu kan sudah 18 tahun, De. Ya nggak ada salahnya kalau nonton beginian. Lagipula tante kan nggak biasa lho nonton yang beginian sendiri..”.

Apa kalimat itu berarti undangan? Atau kupingku yang salah dengar? Oh my god Tante Milsa mengangkat sebelah tangannya dan menyandarkan lengannya di sofa itu. Dari celah gaun di bawah ketiaknya terlihat jelas bukit payudaranya yang masih berlapis BH. Ukurannya benar-benar membuatku menelan ludah. Posisi duduknya berubah, kakinya disilangkan hingga daster itu sedikit tersingkap. Wooow, betis dengan bulu-bulu halus itu. Hmm, Wanita 40-an itu benar-benar menantang, wajah dan tubuhnya mirip sekali dengan pengusaha Dewi Motik, hanya Tante Milsa kelihatan sedikit lebih muda, bibirnya lebih sensual dan hidungnya lebih mancung. Aku tak mengerti kenapa perempuan paruhbaya ini begitu tampak mempesona di mataku. Tapi mungkinkah…? Tidak, dia adalah istri Om Tito, orang yang belakangan ini sangat memperhatikanku. Aku di sini untuk belajar…, atas biaya mereka.., ah persetan!

Tante Milsa mendadak mematikan VCD Player dan memindahkannya ke sebuah TV swasta.
“Lho… kok?”.
“Ah tante bosan ngeliatin itu terus, De…”.
“Tapi kan..”.
“Sudah kalau mau kamu pasang aja sendiri di kamar..”, wajahnya masih biasa saja.
“Eh, ngomong-ngomong, kamu sudah hampir setahun di sini yah?”.
“Iya tante…”.
“Sudah punya pacar?”, ia beranjak meminum kopi yang kubuatkan untuknya.
“Belum”, mataku melirik ke arah belahan daster itu, tampaknya ada celah yang cukup untuk melihat payudara besarnya. Tak sadar penisku mulai berdiri.
“Kamu nggak nyari gitu?”, ia mulai melirik sesekali ke arahku sambil tersenyum.
“Alamaak, senyumnya.., oh singkapan daster bagian bawah itu, uh Tante Milsa.., pahamu”, teriak batinku saat tangannya tanpa sengaja menyingkap belahan gaun di bagian bawah itu. Sengaja atau tidak sih?

“Eeh De.kamu ngeliatin apaan sih?”.
Blarrr…, mungkin ia tahu kalau aku sedang berkonsentrasi memandang satu persatu bagian tubuhnya, “Nngggak kok tante nggak ngeliat apa-apa”.
“Lho mata kamu kayaknya mandangin tante terus? Apa ada yang salah sama tante, De?”, ya ampun dia tahu kalau aku sedang asyik memandanginya.
“Eh…, mm…, anu tante…, aa…, aanu…, tante…,tante”, kerongkonganku seperti tercekat.
“Anu apa…, ah kamu ini ada-ada saja, kenapa..”, matanya semakin terarah pada selangkanganku, bangsat aku lupa pakai celana dalam. Pantas Tante Milsa tahu kalau penisku tegang.
“Ta…, ta…, tante cantik sekali..”, aku tak dapat lagi mengontrol kata-kataku. Dan astaga, bukannya marah, Tante Milsa malah mendekati aku.
“Apa…, tante nggak salah dengar?”, katanya setengah berbisik.
“Bener kok tante..”.
“Tante yang seumur ini kamu bilang cantik, ah bisa aja. Atau kamu mau sesuatu dari tante?” ia memegang pundakku, terasa begitu hangat dan duh gusti buah dada yang sejak tadi kuperhatihan itu kini hanya beberapa sentimeter saja dari wajahku. Apa aku akan dapat menyentuhnya, come on man! Dia istri Om Tito batinku berkata.

Tangannya masih berada di pundakku sebelah kiri, aku masih tak bergeming. Tertunduk malu tanpa bisa mengendalikan pikiranku yang berkecamuk. Harum semerbak parfumnya semakin menggoda nafsuku untuk berbuat sesuatu. Kuberanikan mataku melirik lebih jelas ke arah belahan kain daster berbunga itu. Wow…, sepintas kulihat bukit di selangkangannya yang ahh, kembali aku menelan ludah.

“Kamu belum jawab pertanyaan tante lho, De. Atau kamu mau tante jawab sendiri pertanyaan ini?”.
“Nggak kok tante, sss.., sss…, saya jujur kalau tante memang cantik, eh.., mm…, menarik”.
“Kamu belum pernah kenal cewek yah”.
“Belum, tante”.
“Kalau tante kasih pelajaran gimana?”.
Ini dia yang aku tunggu, ah persetan dia istri Om Tito. Anggap saja ini pembalasan Tante Milsa padanya. Dan juga…, oh aku ingin segera merasakan tubuh wanita.
“Maksud tante…, apa?”, lanjutku bertanya, pandangan kami bertemu sejenak namun aku segera mengalihkan.
“Kamu kan belum pernah pacaran nih, gimana kalau kamu tante ajarin caranya nikmati wanita…”.
“Ta…, tapi tante”, aku masih ragu.
“Kamu takut sama Om Tito? Tenang…, yang ada di rumah ini cuman kita, lho”.
“This is excellent!”, teriakku dalam hati. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Batinku terus berteriak tapi badanku seperti tak dapat kugerakkan.

Beberapa saat kami berdua terdiam.
“Coba sini tangan kamu”, aku memberikan tanganku padanya, my goodness tangan lembut itu menyentuh telapak tanganku yang kasarnya minta ampun.
“Rupanya kamu memang belum pernah nyentuh perempuan, De. Tante tahu kamu baru beranjak remaja dan tante ngerti tentang itu”, Berkata begitu sambil mengelus punggung tanganku, aku merinding dibuatnya, sementara di bawah, penisku yang sejak tadi sudah tegang itu mulai mengeluarkan cairan hingga menampakkan titik basah tepat di permukaan celana pendek itu.
“Tante ngerti kamu terangsang sama film itu. Tapi tante perhatiin belakangan ini kamu sering diam-diam memandangi tubuh tante, benar kan?”, ia seperti menyergapku dalam sebuah perangkap, tangannya terus mengelus punggung telapak tanganku. Aku benar-benar merasa seperti maling yang tertangkap basah, tak sepatah kata lagi yang bisa kuucapkan.
“Kamu kepingin pegang dada tante kan?”.

Daarrr! Dadaku seperti pecah…, mukaku mulai memerah. Aku sampai lupa di bawah sana adik kecilku mulai melembek turun. Dengan segala sisa tenaga aku beranikan diri membalas pandangannya, memaksa diriku mengikuti senyum Tante Milsa.Dan…, astaga…, Tante Milsa menuntun telapak tanganku ke arah payudaranya yang menggelembung besar itu.
“Ta…, ta…, tante…, ooohh”, suara itu keluar begitu saja, dan Tante Milsa hanya melihat tingkahku sambil tersenyum. Adikku bangun lagi dan langsung seperti ingin meloncat keluar dari celana dalamku. Istri Om Tito itu melotot ke arah selangkanganku.
“Waaww…, besar sekali punya kamu De?”, serunya lalu secepat kilat tangannya menggenggam kemaluanku kemudian mengelus-elusnya. Secara reflek tanganku yang tadinya malu-malu dan terlebih dulu berada di permukaan buah dadanya bergerak meremas dengan sangat kuat sampai menimbulkan desah dari mulutnya.
“aahh…, mm remas sayang ooohh”.

Masih tak percaya akan semua itu, aku membalikkan badan ke arahnya dan mulai menggerakkan tangan kiriku. Aku semakin berani, kupandangi wajah istri Om Tito itu dengan seksama.
“Teruskan, De…, buka baju tante”, permpuan itu mengangguk pelan. Matanya berbinar saat melihat kemaluanku tersembul dari celah celana pendek itu. Kancing dasternya kulepas satu persatu, bagian dadanya terbuka lebar. Masih dengan tangan gemetar aku meraih kedua buah dada yang berlapis BH putih itu. Perlahan-lahan aku mulai meremasnya dengan lembut, kedua telapak tanganku kususupkan melewati BH-nya.
“mm…, tante..”, aku menggumam merasakan kelembutan buah dada besar Tante Milsa yang selama sebulan terakhir ini hanya jadi impianku saja. Jari jemariku terasa begitu nyaman, membelai lembut daging kenyal itu, aku memilin puting susunya yang begitu lembutnya.

Akupun semakin berani, BH-nya kutarik ke atas dan wooww…, kedua buah dada itu membuat mataku benar-benar jelalatan.
“Mm…, kamu sudah mulai pintar, De. Tante mau kamu ..”, Belum lagi kalimat Tante Milsa habis aku sudah mengarahkan mulutku ke puncak bukit kembarnya dan “cruppp…”, sedotanku langsung terdengar begitu bibirku mendarat di permukaan puting susunya.
“Aahh…, Dede, ooohh…, sedooot teruuus aahh”, tangannya semakin mengeraskan genggamannya pada batang penisku, celana pendek itu sejak tadi dipelorotnya ke bawah. Sesekali kulirik ke atas sambil terus menikmati puting buah dadanya satu persatu, Tante Milsa tampak tenang sambil tersenyum melihat tingkahku yang seperti monyet kecil menetek pada induknya. Jelas Tante Milsa sudah berpengalaman sekali. Batang penisku tak lagi hanya diremasnya, ia mulai mengocok-ngocoknya. Sebelah lagi tangannya menekan-nekan kepalaku ke arah dadanya.

“Buka pakaian dulu, De” ia menarik baju kaos yang kukenakan, aku melepas gigitanku pada puting buah dadanya, lalu celanaku di lepaskannya. Ia sejenak berdiri dan melepas gaun dasternya, kini aku dapat melihat tubuh Tante Milsa yang bahenol itu dengan jelas. Buah dada besar itu bergelantungan sangat menantang. Dan bukit di antara kedua pangkal pahanya masih tertutup celana dalam putih, bulu-bulu halus tampak merambat keluar dari arah selangkangan itu. Dengan agresif tanganku menjamah CD-nya, langsung kutarik sampai lepas.

“Eeeiiit…, ponakan tante sudah mulai nakal yah”, katanya genit semakin membangkitkan nafsuku.
“Saya nggak tahan ngeliat tubuh tante”, dengusanku masih terdengar semakin keras.
“Kita lakukan di kamar yuk..”, ajaknya sambil menarik tanganku yang tadinya sudah mendarat di permukaan selangkangannya.
“Shitt!” makiku dalam hati, baru saja aku mau merasakan lembutnya bukit di selangkangannya yang mulai basah itu.

Tante Milsa langsung merebahkan badan di tempat tidur itu. Tapi mataku sejenak tertuju pada foto Om Tito dengan baju kehormatan militernya.
“Ta…, tapi tante”
“Tapi apa, ah kamu, De” Tante Milsa melotot.
“Tante kan istri Om Tito”.
“Yang bilang tante istri kamu siapa?”, aku sedikit kendor mendengarnya.
“Saya takut tante, malu sama Om Tito”.
“Emangnya di sini ada kamera yang bisa dilihat dari LA? Dede, Dede.., Kamu nggak usah sebut nama bangsat itu lagi deh!”, intonasi suaranya meninggi.
“Trus gimana dong tante?”, aku tambah tak mengerti.
“Sudahlah De, kamu lakukan saja, kamu sudah lama kan menginginkan ini?” aku tak bisa menjawab, sementara mataku kembali memandang selangkangan Tante Milsa yang kini terbuka lebar. Hmm, persetan dari mana dia tahu aku sudah menantikan ini, itu urusan belakang.

Aku langsung menindihnya, dadaku menempel pada kedua buah payudara itu, kelembutan buah dada yang dulunya hanya ada dalam khayalan itu sekarang menempel ketat di dadaku. Bibir kamipun kini bertemu, Tante Milsa menyedot lidahku dengan lembut. Uhh, nikmatnya, tanganku menyusup di antara dada kami, meraba-raba dan meremas kedua belahan susunya yang besar itu.

“mm…, ooohh…, tante Milsa…, aahh”, kegelian bercampur nikmat saat Tante Milsa memadukan kecupannya di leherku sambil menggesekkan selangkangannya yang basah itu pada penisku.
“Kamu mau sedot susu tante lagi?”, tangannya meremas sendiri buah dada itu, aku tak menjawabnya, bibirku merayap ke arah dadanya, bertumpu pada tangan yang kutekuk sambil berusaha meraih susunya dengan bibirku. Lidahku mulai bekerja liar menjelajahi bukit kenyal itu senti demi senti.
“Hmm…, pintar kamu De, ooohh..” Desahan Tante Milsa mulai terdengar, meski serak-serak tertahan nikmatnya jilatanku pada putingnya yang lancip.
“Sekarang kamu ke bawah lagi sayang..”.

Aku yang sudah terbawa nafsu berat itu menurut saja, lidahku merambat cepat ke arah pahanya, Tante Milsa membukanya lebar dan semerbak aroma selangkangannya semakin mengundang birahiku, aku jadi semakin gila. Kusibak bulu-bulu halus dan lebat yang menutupi daerah vaginanya. Uhh, liang vagina itu tampak sudah becek dan sepertinya berdenyut, aku ingat apa yang harus kulakukan, tak percuma aku sering diam-diam nonton VCD porno. Lidahku menjulur lalu menjilati vagina Tante Milsa.

“Ooouuuhh…, kamu cepat sekali belajar, De. Hmm, enaknya jilatan lidah kamu…, ooohh ini sayang”, ia menunjuk sebuah daging yang mirip biji kacang di bagian atas kemaluannya, aku menyedotnya keras, lidah dan bibirku mengaduk-aduk isi liang vaginanya.
“ooohh, yaahh…, enaak, De, pintar kamu De…, ooohh”, Tante Milsa mulai menjerit kecil merasakan sedotanku pada biji kacang yang belakangan kutahu bernama clitoris.

Ada sekitar tujuh menit lebih aku bermain di daerah itu sampai kurasakan tiba-tiba ia menjepit kepalaku dengan keras di antara pangkal pahanya, aku hampir-hampir tak dapat bernafas.
“Aahh…, tante nggak kuaat aahh, Dede”, teriaknya panjang seiring tubuhnya yang menegang, tangannya meremas sendiri kedua buah dadanya yang sejak tadi bergoyang-goyang, dari liang vaginanya mengucur cairan kental yang langsung bercampur air liur dalam mulutku.
“Uffff…, De, kamu pintar bener. Sering nonton yah?” ia memandangku genit.
“Makasih De, selama ini tante nggak pernah mengalaminya…, makasih sayang. Sekarang beri tante kesempatan istirahat sebentar saja”, ia lalu mengecupku dan beranjak ke arah kamar mandi.

Aku tak tahu harus melakukan apa, senjataku masih tegang dan keras, hanya sempat mendapat sentuhan tangan Tante Milsa. Batinku makin tak sabar ingin cepat menumpahkan air maniku ke dalam vaginanya. Masih jelas bayangan tubuh telanjang Tante Milsa beberapa menit yang lalu…., ahh aku meloncat bangun dan menuju ke kamar mandi. Kulihat Tante Milsa sedang mengguyur tubuhnya di bawah shower.
“Tante…”.
“Hmm, kamu sudah nggak sabar ya?” ia mengambil handuk dan mendekatiku. Tangannya langsung meraih batang penisku yang masih tegang.
“Woooww…, tante baru sadar kalau kamu punya segede ini, De…, ooohhmm”, ia berjongkok di hadapanku. Aku menyandarkan tubuh di dinding kamar mandi itu dan secepat kilat Tante Milsa memasukkan penis itu ke mulutnya.

“Ohh…, nikmat Tante Milsa ooohh…, ooohh…, ahh”, geli bercampur nikmat membuatku seperti melayang. Baru kali ini punyaku masuk ke dalam alatnya perempuan, ternyata…, ahh…, lezatnya setengah mati. Penisku tampak semakin tegang, mulut mungil Tante Milsa hampir tak dapat lagi menampungnya. Sementara tanganku ikut bergerak meremas-remas payudaranya.
“uuuhh… punya kamu ini lho, De…., tante jadi nafsu lagi nih, yuk kita lanjutin lagi”, tangannya menarikku kembali ke tempat tidur, Tante Milsa seperti melihat sesuatu yang begitu menakjubkan. Perempuan setengah baya itu langsung merebahkan diri dan membuka kedua pahanya ke arah berlawanan, mataku lagi-lagi melotot ke arah belahan vaginanya. mm…, kusempatkan menjilatinya semenit lalu dengan tergesa-gesa aku tindih tubuhnya.
“Heh…, sabar dong, De. Kalau kamu gelagapan gini bisa cepat keluar nantinya”.
“Keluar apa, Tante?”.
“Nanti kamu tahu sendiri, deh” tangannya meraih penisku di antara pahanya, kakinya ditekuk hingga badanku terjepit diantaranya. Pelan sekali ibu jari dan telunjuknya menempelkan kepala penisku di bibir kemaluannya.

“Sekarang kamu tekan pelan-pelan sayang…, Ahhooowww, yang pelan sayang oh punya kamu segede kuda tahu!”, liriknya genit saat merasakan penisku yang baru setengah masuk itu.
“Begini tante?”, dengan hati-hati kugerakkan lagi, pelan sekali, rasanya seperti memasuki lubang yang sangat sempit.
“Tarik dulu sedikit, De…, yah tekan lagi. Pelan-pelan…, yaahh masuk sayang ooohh besarnya punya kamu…, ooohh”.
“Tante suka?”.
“Suka sayang ooohh, sekarang kamu goyangin…, mm…, yak gitu terus tarik, aahh…, pelan sayang vagina tante rasanya…, ooouuuhh mau robek, mmhh…, yaahh tekan lagi sayang…, ooohh…, hhmm…, enaakkk…, ooohh”.
“Kalau sakit bilang saya yah tante?”, kusempatkan mengatur gerakan, tampaknya Tante Milsa sudah bisa menikmatinya, matanya memejam.

Cerita Dewasa : “Hmm…, ooohh..”, Tante Milsa kini mengikuti gerakanku. Pinggulnya seperti berdansa ke kiri kanan. Liang vaginanya bertambah licin saja. Penisku kian lama kian lancar, kupercepat goyanganku hingga terdengar bunyi selangkangannya yang becek bertemu pangkal pahaku. Plak.., plak.., plak.., plak.., aduh nikmatnya perempuan setengah baya ini. Mataku merem melek memandangi wajah keibuan Tante Milsa yang masih saja mengeluarkan senyuman. Nafsuku semakin jalang, gerakanku yang tadinya santai kini tak lagi berirama. Buah dadanya tampak bergoyang ke sana ke mari, mengundang bibirku beraksi.

“ooohh sayang kamu buas sekali. hmm…, tante suka yang begini, ooohh…, genjot terus mm”.
“Uuhh tante nikmat tante…, mm tante cantik sekali ooohh..”.
“Kamu senang sekali susu tante yah? ooohh sedooot teruuus susu tanteee aahh…, panjang sekali peler kamu ooohh, Dede…, aahh”.Jeritannya semakin keras dan panjang, denyutan vaginanya semakin terasa menjepit batang penisku yang semakin terasa keras dan tegang.
“De..?”, dengusannya turun naik.
“Yah uuuhh ada apa tante…”.
“Kamu bener-bener hebat sayang…, ooowwww…, uuuhh.., tan.., tante.., mau keluar hampiiirr…, aahh…”, gerakan pinggulnya yang liar itu semakin tak karuan, tak terasa sudah lima belas menit kami berkutat.
“ooohh memang enaak tante, ooohh…, Tante Milsa. Tante Milsa, ooohh…, tante, ooohh…, nikmat sekali tante, ooohh..” aku bahkan tak mengerti apa maksud kata “keluar” itu. Aku hanya peduli pada diriku, kenikmatan yang baru pertama kali kurasakan seumur hidup. Tak kuhiraukan tubuh Tante Milsa yang menegang keras, kuku-kuku tangannya mencengkeram punggungku, pahanya menjepit keras pinggangku yang sedang asyik turun naik itu, “aahh…, De.., deee…, tante ke…luaarrr laagiii…, aahh”, vagina Tante Milsa terasa berdenyut keras sekali, seperti memijit batangan penisku dan uuhh ia menggigit pundakku sampai kemerahan. Kepala penisku seperti tersiram cairan hangat di dalam liang rahimnya. Sesaat kemudian ia lemas lagi.

“Tante capek? Maaf tante kalau saya keterlaluan..”.
“mm…, nggak begitu De, yang ini namanya tante orgasme, bukan kamu yang salah kok, justru kamu hebat sekali…, ah, ntar kamu tahu sendiri deh…, kamu tunggu semenit aja yah, uuuhh hebat”.
Aku tak tahu harus bilang apa, penisku masih menancap di liang kemaluan Tante Milsa.
“Kamu peluk tante dong, mm”.
“Ahh tante, saya boleh lanjutin nggak sih?”.
“Boleh, asal kamu jangan goyang dulu, tunggu sampai tante bangkit lagi, sebentaar aja. Mainin susu tante saja ya?”.
“Baik tante…”.
Kau tak sabar ingin cepat-cepat merasakan nikmatnya “keluar” seperti Tante Milsa. Ia masih diam saja sambil memandangiku yang sibuk sendiri dengan puting susu itu. Beberapa saat kemudian kurasakan liang vaginanya kembali bereaksi, pinggulnya ia gerakkan.

“De..”.
“Ya tante?”.
“Sekarang tante mau puasin kamu, kasih tante yang di atas ya, sayang…, mmhh, pintar”.
Posisi kami berbalik. Kini Tante Milsa menunggangi tubuhku. Perlahan tangannya kembali menuntun batang penisku yang masih tegang itu memasuki liang kenikmatannya, dan uuuhh terasa lebih masuk.

Tante Milsa mulai bergoyang perlahan, payudaranya tampak lebih besar dan semakin menantang dalam posisi ini. Tante Milsa berjongkok di atas pinggangku menaik-turunkan pantatnya, terlihat jelas bagaimana penisku keluar masuk liang vaginanya yang terlihat penuh sesak, sampai bibir kemaluan itu terlihat sangat kencang.
“ooohh enaak tante…, oooh Tante Milsa…, oooh Tante Milsa…, ooo tante…, hmm, enaak sekali…, ooohh..” kedua buah payudara itu seperti berayun keras mengikuti irama turun naiknya tubuh Tante Milsa.
“Remeees susu tante sayang, ooohh…, yaahh.., pintar kamu…, ooohh…, tante nggak percaya kamu bisa seperti ini, ooohh…, pintar kamu Dede ooohh…, ganjal kepalamu dengan bantal ini sayang”, Tante Milsa meraih bantal yang ada di samping kirinya dan memberikannya padaku.
“Maksud tante supaya saya bisa…, crup.., crup..”, mulutku menerkam puting panyudaranya.
“Yaahh sedot susu tante lagi sayang…, mm.., yak begitu teruuus yang kiri sayang ooohh”.

Tante Milsa menundukkan badan agar kedua buah dadanya terjangkau mulutku. Decak becek pertemuan pangkal paha kami semakin terdengar seperti tetesan air, liang vaginanya semakin licin saja. Entah sudah berapa puluh cc cairan kelamin Tante Milsa yang meluber membasahi dinding vaginanya. Tiba-tiba aku teringat adegan filn porno yang tadi kulihat, “yap…, doggie style!” batinku berteriak kegirangan, mendadak aku menahan goyangan Tante Milsa yang tengah asyik.
“Huuuhh…, ooohh ada apa sayang?”, nafasnya tersenggal.
“Saya mau pakai gaya yang ada di film, tante”.
“Gaya yang mana, yah…, ada banyak tuh?”.
“Yang dari belakang trus tante nungging”.
“Hmm…, tante ngerti…, boleh”, katanya singkat lalu melepaskan gigitan vaginanya pada penisku.
“Yang ini maksud kamu”, Tante Milsa menungging tepat di depanku yang masih terduduk.
“Iya tante..” Hmm lezatnya, pantat Tante Milsa yang besar dan belahan bibir vaginanya yang memerah, aku langsung mengambil posisi dan tanpa permisi lagi menyusupkan penisku dari belakang. Kupegangi pinggangnya, sebelah lagi tanganku meraih buah dada besarnya.
“ooohh…, nggg…, yang ini hebaat De…, ooohh, genjot yang keras sayang, ooohh…, tambah keras lagi…, uuuhh..”.
“ooohh tante…, taannn..teee…, ooohh…, nikmat tante Milsa ii..”.

Kepalanya menggeleng keras ke sana ke mari, aku rasa Tante Milsa sedang berusaha menikmati gaya ini dengan semaksimal mungkin. Teriakannyapun makin ngawur.
“ooohh…, jangan lama-lama lagi sayang tante mau keluar lagi oooh..” aku menghentikan gerakan dan mencabut penisku.
“Baik tante sekarang…, mm, coba tante berbaring menghadap ke samping, kita selesaikan dengan gaya ini”.
“Goodness! Kamu sudah mulai pintar sayang mmhh”, Tante Milsa mengecup bibirku.

Perintahkupun diturutinya, ia seperti tahu apa yang aku inginkan. Ia menghempaskan badannya kembali dan berbaring menghadap ke samping, sebelah kakinya terangkat dan mengangkang, aku segera menempatkan pinggangku di antaranya. Buah penisku bersiap lagi.
“aahh tante…, uuuhh…, nikmat sekali, ooohh…, tante sekarang Tante Milsa, ooohh…, saya nggak tahan tanteee…, enaak…, ooohh”.
“Tante juga Dede…, Dede…, Dede sayaanggg, ooohh…, keluaar samaan sayaang oooh” kami berdua berteriak panjang, badanku terasa bergetar, ada sebentuk energi yang maha dahsyat berjalan cepat melalui tubuhku mengarah ke bawah perut dan, “Craat…, cratt…, craatt…, crattt”, entah berapa kali penisku menyemburkan cairan kental ke dalam rahim Tante Milsa yang tampak juga mengalami hal yang sama, selangkangan kami saling menggenjot keras. Tangan Tante Milsa meremas sprei dan menariknya keras, bibirnya ia gigit sendiri. Matanya terpejam seperti merasakan sesuatu yang sangat hebat.

Beberapa menit setelah itu kami berdua terkapar lemas, Tante Milsa memelukku erat, sesekali ia mencium mesra. Tanganku tampaknya masih senang membelai lembut buah dada Tante Milsa. Kupintir-pintir putingnya yang kini mulai lembek. Mataku memandangi wajah manis perempuan paruh baya itu, meski umurnya sudah berkepala empat namun aku masih sangat bernafsu melihatnya. Wajahnya masih menampakkan kecantikan dan keanggunannya. Meski tampak kerutan kecil di leher wanita itu tapi…, aah, persetan dengan itu semua, Tante Milsa adalah wanita pertama yang memperkenalkan aku pada kenikmatan seksual. Bahkan dibanding Devi, Rani, Shinta dan teman sekelasku yang lain, perempuan paruh baya ini jauh lebih menarik.

“Tante nggak nyangka kamu bisa sekuat ini, De..”.
“Hmm…”.
“Betul ini baru yang pertama kali kamu lakukan?”.
“Iya tante..”.
“Nggak pernah sama pacar kamu?”.
“Nggak punya tante…”.
“Yang bener aja ah”.
“Iya bener, nggak bohong kok, tante…, tante nggak kapok kan ngajarin saya yang beginian?”.
“Ya ampuuun..” Ia mencubit genit, “masa sih tante mau ngelepasin kamu yang hebat gini, tahu nggak De, suami tante nggak ada apa-apanya dibanding kamu..”.
“Maksud tante?”.
“Om Titomu itu kalau main paling lama tiga menit…, lha kamu? Tante sudah keluar beberapa kali kamu belum juga, apa nggak hebat namanya”.
“Ngaak tahu deh tante, mungkin karena baru pertama ini sih…”.
“Tapi menurut tante kamu emang punya bakat alam, lho? Buktinya baru pertama begini saja kamu sudah sekuat itu, apalagi kalau sudah pengalaman nanti…, pasti tante kamu bikin KO…, lebih dari yang tadi”.
“Terima kasih tante..”.
“Untuk?”.
“Untuk yang tadi..”.
“Tante yang terima kasih sama kamu…, kamu yang pertama membuat tante merasa seperti ini”.
“Saya nggak ngerti…”.
“De.., dua puluh tahun lebih sudah usia perkimpoian tante dengan Om Tito. Tak pernah sedetikpun tante menikmati hubungan badan yang sehebat ini. Suami tante adalah tipe lelaki egois yang menyenangkan dirinya saja. Tante benar-benar telah dilecehkannya. Belakangan tante berusaha memberontak, rupanya dia sudah mulai bosan dengan tubuh tante dan seperti rekannya yang lain sesama pejabat, ia menyimpan beberapa wanita untuk melampiaskan nafsu seksnya. Tante tahu semua itu dan tante nggak perlu cerita lebih panjang lebar karena pasti kamu sudah sering mendengar pertengkaran tante”, Suaranya mendadak serius, tanganku memeluk tubuhnya yang masih telanjang. Ada sebersit rasa simpati mendengar ceritanya yang polos itu, betapa bodohnya lelaki bernama Om Tito. Perempuan secantik dan senikmat ini di biarkan merana.

“Kriiing…, kriiing…, kriiing”, aku terhenyak kaget.
“Celaka..! Pasti…, mmungkin?, tante…, gimana nih?”.
“pssstt..” Ia menempelkan telunjukknya di bibirku lalu tangan tante Milsa mengangkat gagang telfon yang berada di samping tempat tidur. Ia terduduk, masih tanpa busana, pemandangan asyik untukku yang ada tepat di belakangnya.
“Celaka, jangan-jangan…, Om Tito tahu.., Ah nggak munkin mereka sudah sampai di LA..”, batinku merasa khawatir.

“Halooo…, eh Silo?”, aku tambah khawatir.
“Udah nyampe kalian..?”.
“ooo…, mereka sudah di…”, hatiku agak lega mendengarnya.
“Lia sama adik kamu gimana?”, ternyata Silo menelfon dari Amerika. Hanya memberitahu mamanya kalau mereka sudah sampai. Tampak sekali hubungan Om Tito dan istrinya sedang renggang, tak kudengar mereka berbicara. Hanya Silo dan Julia.
“Kamu nanti kalau balik ke sini bawa oleh-oleh lho?”, tanganku iseng meraba punggungnya yang halus mulus. Tante Milsa melirik nakal sambil terus berbicara. “Apa aja yang penting ada buat Mama…, eh!” ia merasa geli saat aku mencium pinggangnya, aku memeluknya dari arah belakang, tanganku meraba permukaan buah dada itu dan sedikit memijit.
“Ah nggak…, ada nyamuk di kaki Mama…, hmm, trus pacar kamu gimana, kirain jadi ngajak doi ke situ”, kepalaku kini bersandar di atas pahanya, mataku lagi-lagi melirik buah dada itu, tangankupun, “ahh…, aduh nyamuknya banyak sekarang yah, ooo Mama kan belum tutup jendela…, hmm..” mata Tante Milsa terpejam begitu tanganku menyentuh permukaan buah dadanya, merayap perlahan menyusuri kelembutan bukit indah itu menuju puncak dan, ” mm a..” aku memintir putingnya yang coklat kemerahan itu. “Mama lagi baca ini lho artikel masakan khas Amerika latin kayaknya nikmat ya?” telapak tanganku mulai lagi, meremasnya satu persatu, “Hmm”, Tante Milsa rupanya pintar juga membuat alasan pada anaknya. Sambil terus berbicara di telepon dengan sebelah tangannya ia meraih penisku yang mulai tegang lagi. Aku hampir saja lupa kalau ia sedang on line, hampir saja aku mendesah. Untung Tante Milsa cepat menyumbat mulutku dengan tangannya. Nyaris saja.

“Eh, kakakmu gimana prestasinya”, jari telunjuk Tante Milsa mengurut tepat di leher bawah kepala penisku, semakin tegang saja, shitt…, aku nggak bisa bersuara. Aku tak tahan dan beranjak turun dari tempat tidur itu dan langsung berjongkok tepat di depan pahanya di pinggiran spring bed, menguak sepasang paha montok dan putih itu ke arah berlawanan.
“mmhh…, aahh…, oh nggak, Mama cuma sedikit kedinginan…, uuuhh” lidahku langsung mendarat di permukaan segitiga terlarang itu.
“ssshh yaa…,enakkk..”, Tante Milsa sedikit keceplosan.
“Ini…, nih, Mama tadi dibawain fried chicken sama tante Maurin” ia beralasan lagi.

Lidahku kian mengganas, kelentit sebesar biji kacang itu sengaja kusentuh.
“mm fuuuhh…, Mama ngantuk nih…, mau bobo dulu, capek dari kerja tadi, yah?
“Udahan dulu ya sayang…, besok Mama yang telfon kalian…, daah”, diletakkannya gagang telepon itu lalu Tante Milsa mematikan sistem sambungannya.
“Lho kok dimatiin teleponnya tante?”.
“Tante nggak mau diganggu siapapun malam ini, malam ini tante punya kamu, sayang. Tante akan layani kamu sampai kita berdua nggak kuat lagi. Kamu boleh lakukan apa saja. Puaskan diri kamu sayang aahh”, aku tak mempedulikan kata-katanya, lidahku sibuk di daerah selangkangannya.

Malam itu benar-benar surga bagi kami, permainan demi permainan dengan segala macam gaya kami lakukan. Di karpet, di bathtub, bahkan di ruang tengah dan di meja kerja Om Tito sampai sekitar pukul tiga dini hari. Kami sama-sama bernafsu, aku tak ingat lagi berapa kali kami melakukannya. Seingatku disetiap akhir permainan, kami selalu berteriak panjang. Benar-benar malam yang penuh kenikmatan.

Aku terbangun sekitar jam 11 siang, badanku masih terasa sedikit pegal. Tante Milsa sudah tidak ada di sampingku.
“Tante..?” pangilku setengah berteriak, tak ada jawaban dari istri Om Tito yang semalam suntuk kutiduri itu. Aku beranjak dari tempat tidur dan memasang celana pendek, sprei dan bantal-bantal di atas tempat tidur itu berantakan, di banyak tempat ada bercak-bercak bekas cairan kelamin kami berdua. Aku keluar kamar dan menemukan secarik kertas berisi tulisan tangan Tante Milsa, ternyata ia harus ke tempat kerjanya karena ada kontrak yang harus dikerjakan.
“Hmm…, padahal kalau main baru bangun tidur pastilah nikmat sekali”, pikiranku ngeres lagi.

Aku kembali ke kamar Tante Milsa yang berantakan oleh kami semalam, lalu dengan cekatan aku melepas semua sprei dan selimut penuh bercak itu. Kumasukkan ke mesin cuci. Tiga puluh menit kemudian kamar dan ruang kerja Om Tito kubuat rapi kembali. Siap untuk kami pakai main lagi.
“Fuck..! Aku lupa sekolah…, ampuuun gimana nih”, Sejenak aku berpikir dan segera kutelepon Tante Milsa di kantornya.
“Halo PT. Chandra Asri International, Selamat pagi”, suara operator.
“Ya Pagi.., Bu Milsa ada?”.
“Dari siap, pak?”.
“Bilang dari Silo, anaknya..”.
“Oh Mas Silo”.
“Huh dasar sok akrab”, umpatku dalam hati.

“Halo Silo, sorry Mama nggak nelpon kamu pagi ini…, Mama telat bangunnya” aku diam saja.
“Halo…, halo…, Si.., Silo”.
“Saya, Tante. Dede bukan Mas Silo…”.
“Eh kamu sayang…, gimana? mau lagi? Sabar ya, tungguin tante..”.
“Bukan begitu tante.., tapi saya jadi telat bangun…, nggak bisa masuk sekolah”.
“Oooh gampang.., ntar tante yang telepon Pak Yogi, kepala sekolah kamu itu…, tante bilang kamu sakit yah?”.
“Nggak ah tante, ntar jadi sakit beneran..”.
“Tapi emang benar kan kamu sakit…, sakit.., sakit anu! Nah lo!”.
“aah, tante…, tapi bener nih tante tolong sekolah saya di telepon yah?”.
“Iya…, iya.., eh De.., kamu kepingin lagi nggak..”.
“Tante genit”.
“Nggak mau? Awas lho Tante cari orang lain..”.
“Ah Tante, ya mau dong…, semalam nikmat yah, tante..”.
“Kamu hebat!”.
“Tante juga…., nanti pulang jam berapa?”.
“Tunggu aja…, sudah makan kamu?”.
“Belum, tante sudah?”.
“Sudah…, mm, kalau gitu kamu tunggu aja di rumah, tante pesan catering untuk kamu…, biar nanti kamu kuat lagi”.
“Tante bisa aja…, makasih tante..”.
“Sama-sama, sayang…, sampai nanti ya, daahh”.
“Daah, tante”.

Tak sampai sepuluh menit seorang delivery service datang membawa makanan.
“Ini dari, Bu Milsa, Mas talong ditandatangan. Payment-nya sudah sama Bu Milsa”.
“Makasih, mang..”.
“Sama-sama, permisi..”.

Aku langsung membawanya ke dalam dan menyantapnya di depan pesawat TV, sambil melanjutkan nonton film porno, untuk menambah pengalaman. Makanan kiriman Tante Milsa memang semua berprotein tinggi. Aku tahu benar maksudnya. Belum lagi minuman energi yang juga dipesannya untukku. Rupanya istri Om Tito itu benar-benar menikmati permainan seks kami semalam, eh aku juga lho…, kan baru pertama. Sambil terus makan dan menyaksikan film itu aku membayangkan tubuh dan wajah Tante Milsa bermain bersamaku. Penisku terasa pegal-pegal dibuatnya. Huh…,aku mematikan TV dan menuju kamarku.
“Lebih baik tidur dan menyiapkan tenaga…”, aku bergumam sendiri dalam kamar.Sambil membaca buku pelajaran favorit, aku mencoba melupakan pikiran-pikiran tadi. Lama-kelamaan akupun tertidur. Jam menunjukkan pukul 12.45.

Sore harinya aku terbangun oleh kecupan bibir Tante Milsa yang ternyata sudah ada di sampingku.
“Huuuaah…, jam berapa sekarang tante?”.
“Hmm.., jam lima, tante dari tadi juga sudah tidur di sini, sayang kamu tidur terlalu lelap. Tante sempat tidur kurang lebih dua jam sejak tante pulang tadi, gimana, kamu sudah pulih..”.
“Sudah dong tante, empat jam lebih tidur masa sih nggak seger..”, kami saling berciuman mesra, “crup…, crup”, lidah kami bermain di mulutnya.
“Eh…, tante mau jajan dulu ah…, sambil minum teh, yuuk di taman. Tadi tante pesan di Dunkin…, ada donat kesukaan kamu”, ia bangun dan ngeloyor keluar kamar.
“Uh.., Tante Milsa..”, gumamku pelan melihat bahenolnya tubuh kini terbungkus terusan sutra transparan tanpa lengan. Bayangan CD dan BH-nya tampak jelas.

Aku masih senang bermalas-malasan di tempat tidur itu, pikiranku rasanya tak pernah bisa lepas dari bayangan tubuhnya. Beberapa saat saja penisku sudah tampak tegang dan berdiri, dasar pemula! Sejak sering tegang melihat tubuh Tante Milsa sebulan belakangan ini, aku memang jarang memakai celana dalam ketika di rumah agar penisku bisa lebih leluasa kalau berdiri seperti ini.
“Hmm, tante Milsa…, aahh” desahku sambil menggenggam sendiri penisku, aneh…, aku membayangkan orang yang sudah jelas bisa kutiduri saat itu juga, tak tahulah…, rasanya aku gila!

Tanganku mengocok-ngocok sendiri hingga kini penis besar dan panjang itu benar-benar tegak dan tampak perkasa sekali. Aku terus membayangkan bagaimana semalam kepala penis ini menembus dan melesak keluar masuk vagina Tante Milsa. Kutengok ke sana ke mari.
“Tante..”, panggilku.
“Di dapur, sayang”, sahutnya setengah berteriak, aku bergegas ke situ, kulihat ia sedang menghangatkan donat di microwave. Dan…, uuuhh, tubuh yang semalam kunikmati itu, dari arah belakang…, bayangan BH dan celana dalam putih di balik gaun sutranya yang tipis membuatku berkali-kali menelan ludah.
“uuuhh tante…, sayang”, tak sanggup lagi rasanya aku menahan birahiku, kupeluk ia dari belakang, sendok yang ada di tangannya terjatuh, penisku yang sudah tegang kutempelkan erat di belahan pantatnya.

“Aduuuhh…, Dede nakal kamu ah..” ia melirikku dengan pandangan menggoda. Aku semakin berani, tangan kananku meraih buah dada Tante Milsa dari celah gaun di bawah ketiaknya. Lalu tangan kiriku merayap dari arah bawah, paha yang halus putih mulus itu terus ke arah gundukan kemaluannya yang masih berlapis celana dalam. Telunjuk dan jari tengahku langsung menekan, mengusap-usap dan mencubit kecil bibir kemaluannya.

“Ehhmm…, nnggg…, aahh…, nakaal, Dede”.
“Tante…, tante, saya nggak tahan ngeliat tante…, saya bayangin tubuh tante terus dari tadi pagi” Tangan kiriku menarik ujung celana dalam itu turun, ia mengangkat kakinya satu persatu dan terlepaslah celana dalamnya yang putih. Kutarik cup BH-nya ke atas hingga tangan kananku kini bebas mengelus dan meremas buah dadanya. Dengan gerak cepat kulorotkan pula celana dalam yang kupakai lalu bergegas tangan kiriku menyingkap gaun sutranya ke atas. Kudorong tubuh Tante Milsa sampai ia menunduk dan terlihaylah dengan jelas celah vaginanya yang masih tampak tertutup rapat. Aku berjongkok tepat di belakangnya.

“Idiiihh, Dede. Tante mau diapain nih..”, katanya genit. Lidahku menjulur ke arah vaginanya. Aroma daerah kemaluan itu merebak ke hidungku, semakin membuatku tak sabar dan…, “huuuhh…, srup.., srup.., srup”, sekali terkam bibir vagina sebelah bawah itu sudah tersedot habis dalam mulutku.
“aahh.., Dede…, enaakkk..”, jerit perempuan setengah baya itu, tangannya berpegang di pinggiran meja dapur.
“aawwww…, geliii”, kugigit pantatnya. Uuh, bongkahan pantat inilah yang paling mengundang birahiku saat melihatnya untuk pertama kali. Mulus dan putih, besar menggelembung dan montok.

Lima menit kemudian aku berdiri lagi setelah puas membasahi bibir vaginanya dengan lidahku. Kedua tanganku menahan gerakan pinggulnya dari belakang, gaun itu masih tersingkap ke atas, tertahan jari-jari tanganku yang mencengkeram pinggulnya. Dan hmm, kuhunjamkan penis besar dan tegang itu tepat dari arah belakang, “Sreeep…, Bleeesss”, langsung menggenjot keluar masuk vagina Tante Milsa.
“aahh…, Dede…, enaak…, huuuhh tante senang yang ini ooohh..”
“Enak kan tante…, hmm…, ooohh…, agak tegak tante biar susunya…, yaakkk oooh enaakk”.
“Yaahh…, tusuk yang keras…, hmm…, tante nggak pernah gini sebelumnya…, ooohh enaakk pintarnya kamu sayaang…, ooohh enaak…, terus…, terus yah tarik dorong keeeraass…, aahh…, kamu yang pertama giniin tante, De…, ooohh…, ssshh..”, hanya sekitar tiga menit ia bertahan dan, “Hooohh…, tante…, mauuu…, keluar…, sekarang…, ooh hh…, sekarang De, aahh…”. Vaginanya menjepit keras, badannya tegang dengan kepala yang bergoyang keras ke kiri dan ke kanan.

Aku tak mempedulikannya, memang sejenak kuberi ia waktu menarik nafas panjang. Aku membiarkan penisku yang masih tegang itu menancap di dalam. Ia masih menungging kelelahan.
“Balik tante..”, Pintaku sambil melepaskan gigitan di kemaluannya.”Apalagi, sayang…, ya ampun tante nggak kuat.., aahh”.
Aku meraih sebuah kursi.ia mengira aku akan menyuruhnya duduk, “Eiih bukan tante, sekarang tante nyender di dinding, Kaki kiri tante naik di kursi ini..”.
“Ampuuun, Dede…, tante mau diapain sayang..”, ia menurut saja.
Wooow! Kudapatkan posisi itu, selangkangan itu siap dimasuki dari depan sambil berdiri, posisi ini yang membuatku bernafsu.

“Sekarang tante…, yaahh..”, aku menusukkan penisku dari arah depannya, penisku masuk dengan lancar. Tanganku meremas kedua susunya sedangkan mulut kami saling mengecup.
“mmhh…, hhmm..”, ia berusaha menahan kenikmatan itu namun mulutnya tertutup erat oleh bibirku.
Hmm, di samping kanan kami ada cermin seukuran tubuh. Tampak pantatku menghantam keras ke arah selangkangannya. Penisku terlihat jelas keluar masuk vaginanya. Payudaranya yang tergencet dada dan tanganku semakin membuatku bernafsu.
“Cek.., cek.., cek”, gemercik suara kemaluan kami yang bermain di bawah sana. Kulepaskan kecupanku setelah tampak tanda-tanda ia menikmatinya.
“uuuhh hebaat…,, kamu sayang…, aduuuh mati tante…, aahh enaak mati aku De, ooohh…, ayo keluarin sayang…, aahh tante capeeekkk…, sudah mau sampai lagi niiih aahh..” wajahnya tampak tegang lagi, pipinya seperti biasa, merah, sebagai tanda ia segera akan orgasme lagi.

Kupaksakan diriku meraih klimaks itu bersamaan dengannya. Aku agaknya berhasil, perlahan tapi pasti kami kemudian saling mendekap erat sambil saling berteriak keras.
“aahh…, tante keluaar..”.
“Saya juga tante huuhh…, nikmat.., nikmat…, ooohh…, Tante Milsa…, aahh”, dan penisku, “Crat.., crat.., crat.., seeer”, menyemprotkan cairannya sekitar lima enam kali di dalam liang vagina Tante Milsa yang juga tampak menikmati orgasmenya untuk kedua kali.

“Huuuhh…, capeeekk…, sayang” ia melepaskan pelukannya dan penisku yang masih menancap itu. Hmm, kulihat ada cairan yang mengalir di pahanya bagian dalam, ada yang menetes di lantai.
“Mau di lap tante?”, aku menawarkan tissue.
“Nggak sayang…, tante senang, kok. Tante bahagia…, yang mengalir itu sperma kamu dan cairan kelamin tante sendiri. Tante ingin menikmatinya..”, ia berkata begitu sambil memberiku sebuah ciuman.
“Hmm.., Tante Milsa..”, Kuperbaiki letak BH dan rambutnya yang acak-acakan, kemudian ia kembali menyiapkan jajanan yang sempat terhenti oleh ulah nakalku.

Aku kembali ke kamar dan keluar lagi setelah mengenakan baju kaos. Tante Milsa telah menunggu di taman belakang rumahnya yang sangat luas, kira-kira sekitar 25 acre. Kami duduk santai berdua sambil bercanda menikmati suasana di pinggiran sebuah danau buatan. Sesekali kami berciuman mesra seperti pengantin baru yang lagi haus kemesraan. Jadilah dua minggu kepergian keluarga Om Tito itu surga dunia bagiku dan Tante Milsa. Kami melakukannya setiap hari, rata-rata empat sampai lima kali sehari!

Menjelang sore, Tante Milsa mengajakku mandi bersama. Bisa ditebak, kami melakukannya lagi di bathtub kamar mandi mewah itu. Saling menyabuni dan…, hmm, bayangin sendiri deh. Itulah pengalaman pribadiku saat pertama mengenal seks bersama guru seks-ku yang sangat cantik, Tante Milsa.